Tentang LuisaCerpen Yetti A.KA (Jawa Pos, 13 Januari 2013)
Cerpen Cinta - PEREMPUAN itu tidak
menyisir rambut saat datang ke hotel ini, resepsionis berkata yakin, ia
terlihat sangat kusut, lebih-lebih rambut sebahunya yang lebat dan berombak.
Seingatku, tambah resepsionis, ia juga tidak pakai bedak, lipstik, apalagi
pemerah pipi. Aku menduga ia memang datang dengan tergesa. Sangat mungkin ia
belum makan sesuatu pun dari pagi hingga ia terlalu pucat. Perempuan itu segera
bertanya tentang kamar 205. Aku hanya menjawab singkat: kamar itu sudah dipesan
seseorang, pelanggan kami.
Perempuan itu bersorak:
Ya, itu pasti dia!
*** Cerpen Cinta ***
Kami berpapasan saat aku
akan turun ke lantai dasar untuk membaca koran hari Selasa, sementara perempuan
itu menuju ke atas, ke kamar tempat ia menginap yang kemudian kuketahui
bersebelahan dengan kamarku, ujar tamu hotel mencoba mengingat-ingat. Aku
mengangguk padanya, dan ia diam saja. Mungkin ia sedang memikirkan sesuatu yang
jauh berada di luar hotel. Atau mungkin ia hanya sedang tidak berminat
berbasa-basi.
Waktu itu ia mengenakan
blus merah marun.
“Esok paginya, aku baru
tahu kalau namanya Luisa.”
***
Ia perempuan yang murung,
demikian pernyataan penata taman. Tapi ia cantik, tentu saja. Sore pada hari
pertama kedatangannya, perempuan itu turun ke halaman hotel. Ia bersikap
seperti seseorang yang tengah menunggu. Ia melihat lama-lama ke jalan yang
berdebu. Menghembuskan napas. Mengibaskan poni dengan gelisah. Mendadak
terdiam. Lalu cepat-cepat ia menggelengkan kepala. Seolah-olah ia sedang
memerintahkan pada dirinya bahwa ia tidak boleh menangis di sembarang tempat.
Langit cukup terang di
sore itu. Hujan memang kadang turun di malam hari. Itu pun hanya hujan ringan.
Tidak pernah cukup meluruhkan debu-debu dari pohon-pohonan. Perempuan itu
berjalan lebih dekat ke taman di mana aku sedang mengamatinya diam-diam dari
bawah pohon beringin. Di taman, ada anggrek bulan dan kembang melati putih
sedang meruapkan keharuman.
“Kalian gardener hotel
ini?” perempuan itu bertanya dengan suaranya yang jernih.
“Tidak. Kami penata taman
yang hanya akan bekerja beberapa hari saja di sini.” Aku yang menjawab.
“Oh. Penata taman
profesional?”
“Ya. Kira-kira begitu.”
“Namaku Luisa. Aku selalu
menyukai taman, terutama taman kota yang lebih luas. Di rumah, aku punya taman
yang kuurus sendiri. Dari kecil aku terbiasa melihat ibu merawat banyak sekali
bunga di samping dan halaman rumah kami.”
Luisa terus berceloteh
tentang taman di sudut rumahnya yang ia tata bergaya minimalis. Sesekali ia
masih menyinggung soal ibunya yang menanam semua tumbuhan hingga pekarangan
rumah mereka mirip hutan . Seterusnya ia berkata: Ini pertama kali aku datang
ke sini tanpa seorang pun yang aku kenal kecuali seseorang yang telah berjanji
menemuiku.
“Setelah itu Luisa banyak
memandang kosong ke arah jalan. Bertambah murung,” tukas penata taman sembari
menunjukkan tempat persisnya Luisa berdiri.
***
Perempuan itu datang
kembali ke lobi hotel pada pukul tujuh malam karena penasaran apakah seseorang
itu menelepon lagi dan memastikan kedatangannya. Kukatakan, tidak. Ia tidak
menelepon. Perempuan itu mendesah tidak jelas. Aku berpikir seharusnya ia bisa
saja menghubungi lelaki itu dengan mudah.
“Semua nomornya tidak
aktif. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, kecuali menunggu,” kata
perempuan itu seolah tahu apa yang kupikirkan.
Aku menatap simpatik pada
mata perempuan itu. Ia tampak kebingungan. Lalu pergi begitu saja meninggalkan
lobi hotel tanpa berkata apa-apa lagi.
Kemudian, dengan cepat,
pembicaraan tentang perempuan yang menunggu seseorang yang mungkin saja tidak
akan pernah datang, menyebar ke mana-mana. Semua orang yang berada di hotel,
baik tamu, karyawan, hingga penata taman, menjadi akrab dengan nama Luisa.
“Sungguh, kami tidak
pernah kedatangan tamu yang membuat kami amat mudah menjadikan ia bagian dari
diri kami sebelum Luisa menginjakkan kaki di hotel ini. Ia membagi-bagi
kemuraman hatinya ke banyak orang, dan kami semua menerima begitu saja.” Suara
resepsionis lirih.
*** Cerpen Cinta ***
Tamu hotel itu kembali
berkata: Secara kebetulan kami, aku dan Luisa, turun bersamaan untuk sarapan di
restoran hotel, di sisi kolam renang. Kali itu ia tersenyum lebih dulu, aku
membalasnya tanpa berpikir lama. Ia mengenakan syal hitam di leher yang
jenjang. Rambutnya diikat agak tinggi, membuat ia lebih segar dari pertama kali
aku melihatnya.
Kami tidak saling bicara
selama sarapan, meski meja kami berdekatan. Aku juga tidak ingin mengusik
hatinya yang rawan—ia tengah menunggu seseorang yang barangkali tidak akan
datang.
Maka aku mengambilkan ia
segelas kopi hitam, dan setelah itu aku berniat membiarkannya sendirian. Aku
ingin jalan-jalan di sekitar kolam renang. Sekalian membersihkan udara kotor di
dadaku. Udara di sekitar hotel sangat segar bila pagi hari. Hotel yang
suasananya sehangat di rumah sendiri, terletak di bawah bukit-bukit kecil.
Hanya saja, belum sempat aku melangkah, perempuan itu berkata, “Kau pernah
menunggu seseorang?”
Tentu, aku menjawab
spontan.
Aku sekarang sedang
menunggu, ia menunduk, menyembunyikan matanya yang berkabut. Karena ini untuk
pertama kali aku datang ke sini, maka aku sedikit merasa tersesat. Aku bahkan
tidak terlalu yakin bisa menunjukkan titik keberadaanku seandainya temanku
tiba-tiba menelepon lalu menanyakan di mana aku berada sekarang sebab mungkin
saja ia mau menjemputku mengingat betapa menyedihkan apa yang kualami selama di
sini.
Itu mengerikan, aku berkata
lagi.
Perempuan itu tersenyum,
miris. Dan aku sedang melakukan sesuatu yang mengerikan itu. Aku datang ke kota
ini sendirian. Aku tidak punya siapa-siapa di sini kecuali ia yang akan datang
menemuiku itu. Kekasihku. Perempuan itu berhenti bicara. Ia mendadak gelisah.
“Tapi sekarang ia belum datang juga, dan tidak bisa kuhubungi. Ponselnya mati
sejak kemarin. Sementara aku sudah kehabisan semangat untuk menumpang bus, lalu
pulang. Ketika berangkat ke sini, aku sudah meninggalkan segalanya.”
*** Cerpen Cinta ***
Luisa kembali lagi, ujar
penata taman. Ia tidak terlihat lebih baik—tetap saja murung. Lingkar matanya
mulai gelap. Ia pasti tidak tidur selama beberapa jam, atau kalaupun tidur, ia
melakukannya sambil terus memikirkan sesuatu.
“Langit begitu bersih.” Ia
berseru. Satu senyuman menghiasi pipinya yang sedikit memerah, namun terlalu
cepat padam lagi.
“Itu bagus,” tukasku.
Perempuan itu mengalihkan
pandangannya ke arah jalan. Beberapa kendaraan melintas. “Dia tidak akan
datang.” Tentu ia bicara dengan dirinya sendiri. “Ia tidak berani melepaskan
apa-apa yang dimilikinya, seperti aku telah melepaskan semua yang aku sayangi.”
Aku tidak bisa ikut
campur. Aku tidak mengenal seseorang yang ia tunggu. Malah sebenarnya aku juga
tidak terlalu tahu siapa perempuan bernama Luisa itu. Usianya lewat dari tiga
puluhan. Mungkin pula empat puluhan. Yang pasti ia penyuka taman dan bunga.
Dengar-dengar dari pembicaran tamu hotel, Luisa terlibat hubungan yang rumit
dengan lelaki yang ditunggunya.
***
Tidak. Ia tidak turun lagi
sejak pagi di hari ketiga. Ia bahkan tidak ng-bell untuk bertanya atau
minta sesuatu. Atau entahlah, aku tidak terlalu ingat. Karena akhir pekan, hari
itu hotel kami agak ramai. Itu membuatku tidak terlampau memerhatikan Luisa.
***
Setengah jam aku
menunggunya di tangga, berharap kami akan sama-sama sarapan, dan siapa tahu
untuk kali itu kami bisa berbincang lebih akrab lagi. Aku ingin menceritakan
tentang hidupku padanya, sebagaimana sebelumnya ia sedikit bercerita mengenai
hubungan gelapnya dengan lelaki yang ia tunggu. Lelaki itu pacar masa SMA.
Sudah menikah dan memiliki dua orang putra. Luisa sendiri juga sudah
berkeluarga, punya satu orang putri. Anak perempuannya itu kini duduk di kelas
dua SMP. Cantik, berprestasi, dan anak yang periang. Namun semua itu, menurut
cerita Luisa, seperti tak mampu membuatnya berbahagia dan merasa cukup.
Diam-diam Luisa tetap menjalin hubungan dengan lelaki yang waktu itu ia pikir
tidak akan datang menemuinya—hubungan yang membuat mereka letih dan
terus-menerus kebingungan karena mereka ingin bersama tanpa bisa melepaskan
orang-orang yang juga mereka sayangi. Keluarga.
Yeah, Bagaimanapun Luisa
teman bicara yang tidak membosankan. Ia penuh kejutan di balik ekspresinya yang
datar.
Tapi ia tidak pernah
muncul pagi itu, juga saat aku kembali lagi ke atas—bersiap-siap mengisi
liburan dengan mengunjungi beberapa tempat kenangan. Tempat-tempat yang dulu
sangat disukai mendiang istriku.
***
Luisa tidak pergi ke
taman. Aku melihat ia hanya berdiri di balik gorden putih dan tipis—menghadap
jendela yang ia biarkan terbuka sejak kedatangannya. Memang hanya semacam
bayangnya saja yang tampak olehku, namun aku bisa menduga kalau wajah Luisa
tambah murung.
Dari balik gorden itu,
Luisa—menurut dugaanku—kata penata taman melihat jalanan seperti yang biasa ia
lakukan saat berada di taman. Ia bukan menyukai jalan itu, ia sama sekali tidak
terkesan dengan jalan kota yang berlubang-lubang, tapi sekali lagi—ia tengah
berharap seseorang akan muncul di sana. Seseorang yang telah membuat janji
bertemu di kota yang sudah mereka pilih. Ah, bukan, bukan dia, melainkan lelaki
itu yang memilih sebab pada satu waktu lelaki itu pernah menghabiskan
tahun-tahun menggairahkan di kota ini saat ia melakukan penelitian naskah
melayu bersama koleganya. Berkali-kali lelaki itu bercerita pada Luisa betapa
ia ingin suatu hari mereka bertemu di sini, dan itu tidak mungkin pertemuan
biasa.
Luisa sudah datang, dan ia
menunggu nyaris putus asa.
***
Perempuan itu
menghubungiku dari kamarnya. Tentu saja aku begitu terkejut karena aku nyaris
melupakan kalau Luisa selama dua hari tidak pernah lagi keluar kamar. Bagaimana
mungkin aku seceroboh itu? sesal resepsionis. Luisa mengatakan kalau ia akan
segera check out dan meminta petugas mengantarkan bill ke
kamarnya.
Dan… aku masih berbicara
dengan Luisa, ketika lelaki itu muncul di hadapanku—seseorang yang wajahnya,
walau sedikit tirus, masih kukenal dengan baik dan beberapa waktu lalu memesan
kamar 205 di mana Luisa tengah menunggunya di sana.
“Halo, halo, halo…,” suara
Luisa memanggil-manggil.
Aku menutup telepon,
gemetar.
***
Tidak. Aku tidak mendengar
apa-apa. Pertemuan mereka begitu senyap, tamu hotel menggelengkan kepala dengan
mimik sedih.
***
Dari taman aku melihat dua
bayangan bergerak liar di balik tirai putih yang jendelanya masih terbuka
seperti hari-hari sebelumnya. Mereka sedang menari, penata taman sejenak
termenung, atau bisa jadi sedang terlibat pembicaraan yang sangat menguras
emosi.
“Ah, aku tidak bisa
memastikan.”
***
Kemarin, pagi-pagi
sekali petugas kebersihan hotel menemukan tulisan di pintu kamar 205: KAMI
LETIH DENGAN PERASAAN KAMI SENDIRI. Kamar itu begitu sunyi. Begitu mencekam. Hingga seseorang, barangkali
tamu yang berniat mencari penginapan, berteriak kering persis di bawah jendela
kamar 205. (*)
*** Cerpen Cinta ***
Kerinci-Batusangkar, 2012
Yetti A.KA, bergiat di
Komunitas Lembar. Kumpulan cerpen terbarunya Kinoli (Javakarsa Media,
2012).
0 comments:
Post a Comment