BERJALAN DALAM KEHAMPAAN
Cerpen Bernika Dewi Partiwi
Cerpen Bernika Dewi Partiwi
Semua tak melihat aku menangis,
Menggenggam sebuah duka kehidupan,
Semua tak mampu terlukiskan dalam wajah,
Perjalanan yang jauh dari kebahagian.
Aku bersikap tenang,
Diikuti bayang kegelisahan,
Aku bercanda kepada mereka,
Meski tawaku penuh kebohongan.
Sikap yang terus terjadi setiap waktu,
Semua tak pantas diceritakan,
Biarkan mereka tak akan pernah tahu,
Seorang gadis yang langkahnya tak berarah.
Hariku tak pernah berwarna dan bercahaya,
Meski datangnya pelangi maupun mentari,
Aku bagaikan menunggu senjaku datang,
Membawa raga dan jiwaku terpejam.
Menangis dikala hati sedih .. ? itu biasa bagiku , tapi tersenyum dengan tulus dikala hati sedih .. ? itu yang tidak pernah bisa aku lakukan. Dulu pernah aku melakukan hal tersebut kala dilanda sakit hati, mencoba tersenyum disaat itu. Mampu .. ? ya, namun diiringi dengan air mata yang berlinang dan senyuman yang jauh dari gambar ketulusan. Hidup ini memang pahit, selalu dikelilingi orang-orang yang bersandiwara. Aku sudah puas bahkan muak dengan derita yang tak kunjung lepas dari aku dan .... bunda !!
Aku Jessika Dewi Catharina Aldolino, tapi sepertinya Jessika Dewi Catharina saja sebab aku benci dengan nama belakang itu. Aldolino adalah nama ayahku, ia adalah orang yang selama ini membuat hidup ku dan bunda menderita. Laki-laki biadab yang selalu membuat bunda menangis akibat ulahnya, rasa-rasanya aku ingin sekali membunuh manusia biadap itu agar tidak pernah menampakan wujudnya yang buruk #menurutku dan juga mungkin bunda sependapat.
Seperti hari-hari sebelumnya, rumah ini ramai dengan bunyi suara-suara benda yang berjatuhan akibat lemparan kesuatu sudut, jam sudah menunjukan pukul 00.15 WIB, waktunya para manusia terlelap dengan pulas diatas ranjang yang menurut mereka nyaman. Tapi itu tak berlaku untuk kami.
Aku keluar dari kamar dan bergegas ke arah sumber ramai-ramai itu, aku sudah tidak terkejut lagi melihat pemandangan seperti ini. Namun kali ini lokasinya bukan lagi dikamar bunda, ruang tamu or ruang keluarga melainkan diruang baju bunda yang super luas itu.
Aku membangunkan bunda dari lantai, ia terkulai lemas dengan bekas pukulan-pukulan dibagian wajahnya. Aku bersikap tenang seakan-akan tidak terjadi apa-apa, ku punguti serpihan-serpihan guci kesayangan bunda yang pecah itu, setelah rapih semuanya, aku membawa bunda kekamar. Ku obati bekas luka pukulan itu dengan hati-hati, sesekali terdengar rintihan bunda, ku tatap wajah dan bola matanya *kenapa bunda ga lawan laki-laki ga tau diri itu .. ?
“kemana laki-laki biadap itu bun .. ?” cemohku
“jessika dya itu ayah kamu” ucapnya
“ayah .. ? bunda ga salah .. ? orang kaya dya dibilang ayah .. ? dya ga pantes jadi ayah jessika dan jessika ga sudi manggil dya ayah bun.”
“jessika, tarik ucapanmu” bentak bunda
“kenapa .. ? bunda ga suka .. ? kalau orang yang bunda sangat cintai itu aku cemoh .. ? jess sakit bun, ngeliat bunda diperlakukan seperti ini. Kita tuh udah kaya kerbau yang dicocok hidungnya,” ucapku dan berjalan keluar “jangan salahin jess bun, kalau suatu saat jess jeblosin dya ke penjara atau malah jess bunuh dengan tangan jess sendiri”
“jess, jessika ..” panggil bunda
***
Tok tok tok !!
Suara ketukan pintu itu memaksa aku untuk terbangun dari tidur, ku raba jam weker yang ada di sampingku.
“06.30” gumamku setengah sadar
Namun untuk kali ini aku menghiraukan panggilan yang melalui perantara pintu kamar, semalaman suntuk aku tidak bisa tertidur denga tenang’nya di kamar ini. Pikiran ku selalu tertuju ke satu pokok masalah, yaitu ayah.
Tok tok tok !!
Panggilan itu semakin kencang dan tidak hentinya berdetak dipintu kamar, mau tak mau akupun bangun dari atas ranjang ini dari pada nanti kuping ku yang menjadi korbannya.
Orang dibalik pintu tersenyum ketika aku membuka pintu kamar yang ia ketuk-ketuk tidak karuan ,
“good morning sayang” ucap ayah
“ganggu tau ga” bentakku tidak bisa menahan emosi.
“jess ..”panggil bunda yang berada dirangkulan ayah,
Benar-benar pysicopat manusia yang satu ini, pikirannya tidak bisa ditebak oleh makhluk jenis mana pun. Tadi malam ia bagaikan seorang bajingan yang ingin aku bunuh secepatnya, namun pagi ini ia bagaikan seorang kepala keluarga yang sangat menyayangi keluarganya.
Aku menatap wajah bunda yang sepertinya memohon kepada ku agar aku meredakan emosi yang sudah memuncak ini, sunggguh ... jika saja bunda tidak ada didepanku untuk hari ini, aku pasti sudah menghajar manusia biadab itu. Sebab aku sudah muak dan jijik terhadapnya, walaupun aku lahir karena benihnya. Kalau boleh memilih aku tidak ingin terlahir dari benih manusia biadap itu.
“maaf tuan, nyonya dan mba jess. Sarapannya udah siap” ucap bibi, memecah ke kakuan ini.
“makasih ya bi” ucap ayah ramah “ayo bun, jess. Kita sarapan sama-sama” sambungnya
Aku mengikuti langkah mereka semua, aku sebenarnya ingin mengakhiri sarapan pagi ini dengan pergi dari meja makan. Namun langkahku terhenti ketika bunda memegang pergelangan tanganku,
“bunda buntuh kamu jess,” ucap bunda pelan
Dengan sangat terpaksa aku mengikuti permintaan bunda, semeja dengan manusia itu membuat aku tak berselera untuk memakan makanan yang sudah tersaji itu. Memang dulu ketika aku masih berumur 4 tahun, aku mengharapkan kejadian seperti ini. Sarapan bersama dimeja makan, namun itu dulu sebelum aku mengerti semuanya.
“jess makan dikamar aja bi, siapin ya” ucaku
“kenapa jess, makanannya tidak enak .. ? kalau begitu kita makan diluar saja” ujar ayah
“engga, jess mau makan dikamar”
“ya. Sudah bi, siapkan untuk anak tercintaku ini”
What .. ?
Tercinta .. ?
Memang ia tak pernah memukul ku, namun tetap saja aku merasa sekujur tubuhku patah ketika aku melihat bunda dipukul olehnya.
Aku tersenyum tipis dan pergi meninggalkan mereka.
“anak kita sudah besar ya bun, tidak terasa kita sudah merawatnya selama 17 tahun ini”
“iya yah, jess memang sudah dewasa”
Harusnya aku senang dan bahagia melihat ayah dan bunda mesra seperti ini, bukannya malah marah bahkan sedih. Tapi entah mengapa aku menangis terisak dibalik pintu kamar, dada ku sesak melihat ini dan semakin sesak ketika rentetan bayangan kejadian kemarin-kemarin terbesit dikepala ku, hingga membuatku tak ingat apa yang terjadi selanjutnya.
***
“bun ....” panggilku
Namun tidak ada jawaban, aku menuju dapur mungkin saja bunda sedang menyiapkan makan malam untuk kami makan. Tapi sepertinya tidak mungkin sebab sekarang saja sudah hampir jam 11 malam, aku tetap berjalan ke sana, namu tidak terlihat bunda, apa mungkin ayah dan bunda pergi makan diluar .. ? ya , mungkin saja.
“bi ....” panggilku lagi
Tidak ada jawaban juga, akupun bergegas menuju kamar bibi tersayangku itu. Namun di kamarnya tidak ada siapa-siapa, aneh .. kemana perginya mereka .. ? apa mungkin bibi diajak ayah makan diluar .. ? sepertinya tidak mungkin, sebab aku saja yang anaknya tidak diajak ikut.
Aku berjalan menuju teras rumah, sambil berharap ada tukang makanan yang biasa melintas didepan rumah.
Aku terdiam mematung diambang pintu melihat mobil-mobil yang masih terdiam rapih ditempatnya, lalu kemana mereka semua pergi .. ?
“jangan-jangan ...”
Aku berlari menuju kamar bunda dengan kencang, pintunya tetutup sangat rapat bahkan dikunci. Aku bergegas mengambil kunci serep yang ada digudang, dan ...
Terlihat bibi terbaring tidak berdaya disana, tubuhnya berlumuran oleh darah segar. Tubuhku gemetar melihat darah-darah yang berceceran, lemas ... sangat lemas,
“bibi ... bangun bi .. bibi ...” panggilku sambil menangis
Ku papah tubuh itu dan merebahkannya disofa ruang tamu, aku bingung apa yang harus aku lakukan. Aku teringat bunda, dan langsung membuka pintu kamarnya.
Benar saja bunda juga bernasib sama seperti bibi, aku menangis sejadi-jadinya didepan tubuh bunda yang sudah tidak sadarkan diri.
“bunda .. bangun bun, jangan tinggalin jess sendiri ..”
Ambulan !!
Ya...
Aku harus menelpon ambulan sesegera mungkin, agar kedua wanita yang ku sayang ini selamat ...
“ha ... ha.. halo, tolong saya pa .. pak” ucapku terbata-bata
“halo, halo ...”
“kom .. kom .. komplek”
“pelan-pelan nak, ayo pelan-pelan”
“cita garden pa nomer 9A” ujarku lemah, semuanya gelap dan ..... HILANG,
Tut tut tut !!
***
Gelap semuanya gelap, semuanya abstrak. Tidak ada gambaran sesuatu pun, tidak ada yang terlintas di sana, hanya setitik cahaya yang semakin mendekat, medekat dan ...
“bunda .............” teriakku
Dimana aku .. ? kenapa tidak ada bunda .. ? dimana bunda .. ?
Aku berlari keluar dari kamar ini untuk mencari keberadaan bunda, dimana bunda .. ? aku terus berlari dilorong yang serba putih ini, mereka yang berpapasan denganku hanya menatapku dengan iba.
Ku buka satu persatu ruangan yang ada disana, namun dari sekian banyak kamar yang kusinggahi tidak terdapat bunda didalamnya.
“jessika ...” panggil seorang perempuan didepan ruangan sana
Aku menghampirinya,
“bunda dimana .. ? bunda dimana tante .. ? bunda ....”
“tenang sayang, tenang”
“ga tante, jess ga bisa tenang sebelum jess ketemu bunda.. tante jess mau ketemu bunda, bunda tante”
“jess ...”
“engga .. bunda ... bunda tante, bunda mana”
Plak !!
Sebuah tamparan mendarat dipipiku, sakit .. namun tertutupi dengan luka yang sudah ada sejak aku kecil, aku terdiam dalam tangis aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku terlalu lemah untuk berontak hari ini, aku hanya ingin bunda dan .. membunuh ayah !!
“jess, maafin tante sayang. Tante ga bermaksud menampar kamu” ucapnya merasa bersalah
“engga tan, engga apa-apa. Itu ga sakit”
“dengerin tante, bunda dan bibi kamu lagi didalam ruangan sana. Mereka koma, karna kekurangan darah dan terlalu lama dirumah.”
“ini semua pasti ulah bajingan itu kan tante .. ? iya kan .. ?”
“iya sayang, ini semua perbuatan ayah kamu”
“dya bukan ayah jess tante, dya manusia biadab. Jess ga sudi punya ayah macam dya” ujarku histeris.
“iya sayang iya”
Aku teringat tempat persembunyian ayah, jika ia habis memukul ibu. Aku bangun dari tempat itu dan berlari menuju jalan.
“jessika .. kamu mau kemana”
***
Benar saja prediksi ku, manusia itu ada ditempat ini sedang bermesraan dengan beberapa pelacur. Aku hamipiri ia,
“ayah ...” panggilku untuk pertama kalinya
Ia menoleh ke arahku dengan setengah sadar akibat mabuk, aku menyeringai dan menatapnya dengan tatapan srigala yang ingin menerkam mangsanya.
“lebih baik kamu mati ...”
Prang !!
Sebuah botol menghantam kepala manusia biadab itu, ya ... itu ulah ku dan aku puas melakukannya bahkan aku tertawa terbahak-bahak melihat manusia itu tewas terkapar seketika dan mendengar jeritan manusia-manusia di dalam ruangan ini.
Aku berjalan keluar masih dengan membawa pecahan botol dan dengan terus menyeringai tajam, orang-orang disana menjauh ketika aku melintas dihadapannya.
***
“sodari Jessika Dewi Catharina Aldilino, telah diputuskan bahwa sodari telah bersalah kerena telah membunuh ayah kandung sodari dan terkena pasal pembunuhan yang berakibat sodari dihukum 15 tahun penjara”
Tok tok tok !!
“tidak .. anak saya tidak bersalah, dya membela saya. Tidak ... jessika ... bunda sayang kamu nak, jessika”
Aku menoleh kearah bunda yang menangis histeris dibangku sana bersama bibi dan tante mery, aku bahagia bun walau harus mendekam dipenjara selama itu.
End
Baca Juga Cerpen Remaja dan Cerpen Sedih yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment