CERMIN UNTUK IBU
Cerpen Dessy Anggraini
Cerpen Dessy Anggraini
Berkaca pada kenyataan yang menjadikannya tiada
Walau kecil dan hampir retak
Senantiasa bias melihat kebenaran atas khilafmu, ibu
Pada salah yang menjadikannya benar
Bagiku, anak gadismu…
Hanya sebait puisi ini, yang selama ini masih saja tetap sebait dan tidak tertambah dengan bait-bait lainnya yang juga selama ini ingin aku sampaikan pada ibuku tercinta. Ibu yang selama ini menjadi penerang bagi jalanku, ibu yang selama ini menjadi penuntun dalam gelapku, dan ibu yang selama ini menjadi penyejuk dalam dahagaku. Ibu. .. yang begitu aku cintai, kini terasa jauh, jauh meninggalkanku sejauh awan-awan jingga menari kearah barat menuju peraduannya. Jauh, dan semakin jauh aku rasakan. Betapa goyah dan seperti perahu oleng saja hidupku ini, beranjak dewasa dan sedikit terlepas dari pelukan hangat ibuku tersayang.
Jogja, 24 april 2009
Dear diary. . .
. . .. hari ini, aku lulus ujian seleksi. . .!!! J
Aku sangat senang ry, tiada bias terkata2. Pokoknya aku akan tetap ke jogja. jogja. . . .!! I’m coming. . . alaupun pedih harus ninggalin mamah dan ayah, tapi aku harus semangat. Aku gak boleh larut dalam kesedihan ini. Semangat. . .!!!
*****
Aku Andhira. Anak tunggal dari sepasang suami istri yan tidak lagi saling mencintai. Berbagai alibi logis dan non logis pun menjadikan mereka pisah. Jalani hidupnya masing-masing dan menentukan hari tuanya tanpa ada lagi kata saling melengkapi. Seorang gadis remaja yang sepertinya akan segera beranjak dewasa. Pahitnya perceraian orang tuaku dimasa lalu, mengantarkanku di kota klasik yang penuh gemerlap metropolitan ini. Yogyakarta, menjadi pilihanku saat ayah mengetahui aku lulus UN dengan nilai yang cukup bias diandalkan. Dan aku langsung memaksa ayah untuk mendaftarkanku di universitas yang aku inginkan untuk melanjutkan studi S1 ku, dan jurusan sastra indonesiapun menjadi pilihan utamaku, mungkin juga terakhir.
Lambaian tangan ayahku juga ibu tiriku, mengantarkanku sampai ke gerbang bandara, tak sanggup aku menahan air mata ini nuntuk tidak menatap ayahku. Matanya yang berkaca-kaca mengisyaratkan, tak rela rasanya ia melepasku anak gadis satu-satunya yang ia miliki. Tapi kembali aku pada hati nurani, ini jalanku mungkin ini memang takdirku, dan aku harus menerimanya apapun resikonya.
Di atas awan, 30 april 2009
Dear diary. ..
. . . ry, aku udah terbang. Sedih lihat ayah nangis. Aku juga nangis deh jadinya. Mamah gak bias nganter aku ke bandara ry, lagi ngawas murid-muridnya ujian semesteran katanya. Yah, gak apalah. Tadi udah telfon kok. Katanya, tengah semester ini mamah mau datang, jenguk aku sama suaminya.. ih. ..!! kenapa mesti sama dia. Tapi gak apa lah .. . duh, deg2an ni pertama kali naek beginian, semoga nanti landing dengan selamat. Amin. Daaa. . . J
Aku merasa sendiri di kota ini. Bagaimana tidak, tak ada satupun manusia yang kukenal. Begitu canggungnya aku melangkahkan kaki ini, hanya dengan keberanian saja kakiku bias tertancap dan berpijak di tanah batik ini. Ingin segera saja aku berbalik arah dan mengejar pesawat tadi, tapi ah. . . mana mungkin. Tiba-tiba handphoneku berdering. Ayah memanggil,. ..
“ ra. . .udah sampai yah. . .”
“udah yah, tapi dhira takut yah, trus abis nih dhira kemana”
“lhoo. . . anak ayah kok jadi penakut sih. Harus berani sayang. Coba buka alamat yang ayah kasih dhira tadi pagi, ntar kalau ndak tau jalannya. Minta antar tukang becak. .”
“ oh. . iya yah”
“ anak ayah udah makan? Jangan telat makan ya. Tadi mamah telfon. . . yah seperti biasa, masih marah sama ayah. . .”
“ belum yah, ntar aja deh. Yah, bilang aja sama mamah dhira gak apa-apa yah. Ntar deh dhira telfon sendiri.. yah, udah dulu yah. . .”
“ iya sayang. Hati-hati yah. Bye”
“bye ayah. . .”
Terbayang olehku, sehari sebelum keberangkatanku mamah datang kerumah. Terdengar olehku perkataan mamah yang sedikit keras pada ayah.
“ sudah kubilang mas, kalau memang gak mau lagi mengurus dhira, biarkan aja aku yang urus. Apa udah gak sanggup lagi istrimu itu mengurusnya. Seberapa sulit sih mengurus anak perempuan yang cuma satu. . .?? jangan dijauhkan aku dari anakku mas. . .” teriak mamah sedih
“ ini kemauannya sendiri Suci. Kamu taukan gimana watak anakmu sendiri, keras kepala seperti kamu. Tak perduli apa resiko dari yang dibuatnya. Sudahlah, jangan salahkan aku terus. Aku tak bias melarangnya, aku rela melakukan apapun asal dia bahagia..” ucap ayah membela diri
“ tapi kan, jogja itu jauh mas. Biar saja.. aku akan susul dia nanti, dan setelah itu ku ajak dia tinggal bersamaku. Disini pun percuma, tak bias istrimu itu mengurusnya. ..” balas mamah lagi
“ jangan kamu bawa-bawa nama Hartanti. Kamu tidak berhak menghujat dia seperti itu Suci !” bentak ayahku
Kulihat mamah menangis saat itu dan langsung pergi tanpa melirikku yang sedari tadi berdiri dibalik tirai. Padahal tampak kakiku saat itu di depan mata mamah, tapi kekecewaannya menjadikannya kalap dan langsung pergi tanpa mencium pipiku seperti biasa. Tapi aku tak memperdulikan itu semua, walau kenyataannya sangat sakit hati ini. Mamah memang sangat egois. Bahkan, demi kesenangannya ia rela menelantarkan segala apa yang ia punya, termasuk aku dan ayah saat ia memutuskan lebih memilih kekasihnya dari pada kami berdua. Pahitnya perceraian ini harus menjadikanku gadis yang kuat dalam segala cobaan. Aku harus mengubur semua itu dalam-dalam.
****
Di sudut kota, kulihat ada penjual bubur ayam. Melalui mas-mas bubur ayam itu, aku mendapatkan alamat kos ini. Jln. Merpati Biru, no 24 Malioboro. Segera kukabari pada ayah, bahwa aku telah sampai di kos-kosan teman ayah zaman dulu. Mulailah kukemas dan kurapikan barang-barangku dikamar kecil ini, cukup nyaman namun sedikit berdebu karena lama tidak ditempati. Aku harus segera istirahat, terasa angat berat pundak ini. Esok harinya, perkuliahan sudah dimulai. Jadilah aku anak baru yang harus di ospek. Dengan berbekal selembar puisi cinta untuk mamah, aku beranikan diri untuk maju ke depan kelas, saat kakak kelas beralmamater hijau tosca menunjukku untuk membacakan puisi secara live. Aku gemetar, tapi aku harus berani. Menyampaikan ini, puisi yang aku tulis tadi malam hanya untuk mamah tersayang.
Cermin untuk ibu
Berkaca pada kenyataan yang menjadikannya tiada
Walau kecil dan hamper retak
Senantiasa bias melihat kebenaran atas khilafmu, ibu
Pada salah yang menjadikannya benar
Bagiku, anak gadismu…
Tak ada yang bisa menggantikanmu
Walau ternyata ada
Dirimu tetap cermin kebahagiaanku
Selamanya
(Yogyakarta, 1 mei 2009)
Tak terasa air mataku meleleh, meluncur disudut mata sipitku. Riuh kudengar tepuk tangan dari semua teman-temanku. Hanya ini yang bias kutuliskan untuk mamahku tersayang. Hanya ia yang saat ini kurindukan, walaupun ia pernah menyakiti hati ini, tapi ia tetap yang terindah.
Di kamar, 1 mei 2009
Dear diary. . .
Tadi aku baca puisi ry. . . aduh aku jadi kangen mamah. . . mah. . .!!! cepet dating yah, dhira kangen. Luv u mah, forever. Ya rabb, hadirkan mamah dimimpiku mala mini yah. . . amin.
Tak terasa mata ini terpejam. Segera terhanyut dan akan segera juga berlayar ke negeri mimpi yang indah, tanpa air mata. Kini satu bait puisi yang dahulu tidak pernah bertambah, bertambah juga akhirnya. Dua bait puisi ini nantinya akan kupersembahkan pada mamah saat aku pulang nanti. Akan kupeluk dan kuciuminya dan akan kuhadiahkan puisi ini untuk mamah sebagai tanda aku sangat menyayanginya. Sampai kapanpun, sampai jiwa ini tak bersatu lagi dengan raganya. Tetap mamah yang ada dihatiku. . . .
SEKIAN :)
0 comments:
Post a Comment