POHON YANG HILANG
Cerpen Rachmat H. Cahyono
Lelaki bertubuh kecil bernama Marzuki itu terkejut melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Ia serasa mengenali garis-garis wajah itu.
"Man, Lukman, masya Allah. Bener ini kamu, Man?"
Lelaki yang disapa Marzuki itu tersenyum. Benar, itu memang Lukman, kawan masa kecilnya.
"Apa kabar, Ki?"
Mereka saling berangkulan. Lebih tepat, Marzuki merangkulnya lebih dulu.
"Nggak saya sangka, Man. Keren banget kamu sekarang. Cakep. Berapa tahun ya kita enggak ketemu?"
Sebaliknya, ia justru melihat kehidupan mandek begitu saja di suatu tempat. Berubah menjadi hantu tumpukan persoalan yang membuat kenalan lamanya itu terlihat lebih tua daripada usia sebenarnya. Uban di rambut, kantong mata kendor, letih menatap hidup. Tubuh kecil ringkih.
Ia sengaja menyulap dirinya menjadi peziarah yang singgah sebentar ke tempat lama yang dikenalnya. Perkampungan itu. Perkampungan di tengah ibu kota. Hampir 20 tahun berlalu, semenjak keluarganya membawanya merantau ke kota lain. Ke pulau lain. Lalu menghilang dalam kelebat hidup bergegas di negeri empat musim.
Sekolah. Bekerja. Berkeluarga. Perkelaminan. Hidup ternyata cuma deretan angka-angka.
Berapa umurmu? Apakah nilai sekolahmu selalu bagus? Hei, kau sudah bekerja ya, berapa gaji pertamamu? Sudah berapa lama ya kita tidak ketemu? Nomor teleponmu yang sekarang dong? Umur berapa kau menikah? Berapa anakmu sekarang?
Hah. Angka. Angka. Angka.
Sekarang angin membawanya kembali ke sana. Ke tempat ia melewati masa kanak-kanak dan tahun-tahun awal masa remajanya. Dua puluh tahun lalu. Bukan waktu sebentar. Cukup untuk mengaburkan segala kenangan masa silam menjadi serpihan-serpihan samar yang tak lagi jelas warna dan bentuknya. Ah, kenangan. Bisakah manusia hidup dari kenangan?
Betapa pun ia menyukai kunjungan itu. Apa pun alasannya. Apa pun maknanya. Ia bisa kembali menginderai perkampungan yang begitu "kampungan" itu ("kampungan". Ia selalu mengucapkan kata itu dengan nada rindu yang berbekas di ujung lidahnya). Bertemu bau khas memualkan meruap dari selokan mampet berwarna keruh kehitaman. Terkadang ada bangkai tikus bengkak dengan perut membesar keputihan, mengambang di selokan. Orang-orang berlalu dengan sorot mata jijik dan tangan menutup hidung.
Tak ada kata lain yang lebih tepat selain mengakui perkampungan di tengah kota itu memang jorok betul dan kampungan betul. Padahal, letaknya bersisian dengan salah satu jalan penting di pusat Jakarta. Sebuah perkampungan tua. Konon riwayatnya bisa dirunut sejak Sultan Agung dari Mataram memutuskan menyerbu VOC di Batavia. Prajurit Sultan Agung yang tercecer kemudian menetap di perkampungan itu, kawin mawin dengan penduduk asli, beranak pinak. Jangan-jangan mereka desersi karena gagal menaklukkan birahi mereka sendiri.
Bagaimanapun, perkampungan itu pernah ikut mengasuh dan membesarkannya.
***
Marzuki mengajak mampir ke rumahnya. Ia penuhi ajakan itu. Masih rumah lama, rumah warisan orang tua. Letaknya berdekatan dengan lapangan bulu tangkis tempat dia bermain di masa kanak-kanak dulu. Sekarang lapangan itu sudah disemen, rapi, dengan garis-garis permainan dari ubin keramik putih, bukan lagi irisan bambu.
Hanya rumah Marzuki kelihatannya tidak banyak berubah. Letaknya masih lebih rendah daripada selokan di depan rumah. Rumah kecil yang catnya mengelupas dan selalu ramai celoteh kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Yang selalu kebanjiran ketika musim hujan tiba. Marzuki memperkenalkannya pada perempuan berpenampilan seadanya. Istrinya.
Ia memaksa diri minum teh manis yang dibuatkan perempuan itu. Terlalu manis. Gelasnya tidak terlalu bersih; masih tersisa aroma sabun. Agaknya dicuci tergesa-gesa. Gelas murahan, dapat gratis jika membeli barang-barang tertentu di pasar.
Ia tak membiarkan Marzuki bertanya lebih jauh perihal kehidupannya sekarang. Buat apa. Ia tahu dunia mereka sudah terlalu jauh berbeda. Justru ia yang sibuk bertanya-tanya pada kawannya itu mengenai kehidupannya sekarang. Kehidupan kawan-kawan lama mereka. Orang-orang yang pernah dikenalnya, yang ikut mewarnai kehidupannya di masa lalu. Begitu banyak perubahan. Bukan untuk mengorek, tapi sekadar memenuhi rasa ingin tahunya saja.
"Si Jimi?"
"Jadi Bandar putaw. Mati. Ditembak polisi."
"Astaga. Kalo Syafri?"
"Di Arab. Jadi TKI."
"Rima?"
"Di Surabaya. Bini kedua. Anaknya udah tiga."
"Syamsul?"
"Alhamdulillah, dia yang paling bener hidupnya. Sekarang punya pesantren kecil. Di Bogor."
"Masduki?"
"Kerja di pabrik gelas di Tangerang."
"Ustad Bibi?"
"Meninggal, Man. Tahun lalu. Darah tinggi."
"Innalillaahi "
Ah, kenangan manis. Masa kanak-kanak. Percakapan mengalir begitu saja. Wajah-wajah berlintasan. Samar-samar. Sayup-sayup. Ada orang mengaji Quran. Ingatan mengalir kembali. Ustad Bibi, Habibi, dengan rotan yang tidak pernah ketinggalan dihantamkan di rehal. Sakitnya cubitan ustad itu. Ia pandai mencubit seperti perempuan. Kecil, pedih, berbekas di paha.
Terbayang kembali masjid kecil dengan dinding setengah tembok setengah kayu, di tengah perkampungan, tempat dia belajar mengaji. Suara anak-anak membaca juz Amma. Ada suaranya di sana. Kecil. Nyaring. Cerita tentang sorga dan neraka. Nanti di alam kubur akan ditanyai malaikat. Ah, kenangan.
Untuk sesaat, ia juga bisa melihat kemuraman terhapus dari wajah Marzuki. Mereka tertawa, semakin larut dalam kenangan masa kanak-kanak.
"Tapi sekarang perkampungan ini tambah gersang ya, Ki? Pohon gede semakin jarang kelihatan."
Marzuki mengangguk, masih ingat betapa mereka dulu begitu gemar memanjat pohon. Sekarang perkampungan itu semakin kehilangan pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak. Mungkin karena rumah-rumah semakin tumbuh merapat. Tak ada lagi lahan tersisa untuk tumbuh sebatang pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak.
Padahal, begitu cintanya mereka waktu itu pada pohon tinggi. Pohon apa saja. Makin tinggi makin menantang. Ya, ia tetap mengingatnya dengan baik. Pohon mangga, pohon jambu air, pohon seri, pohon cereme. Bahkan pohon buni di dekat rumah kosong yang angker dan konon ada penghuninya, dengan buah kecil-kecil yang masam dan segar buat kelengkapan rujak tumbuk. Jenis buah yang tak lagi dikenali anaknya yang terbiasa dengan buah-buahan impor yang berderet di super market. Ah, Jakarta, ibu kota ini terlalu pelit dalam memberikan pohon di lingkungan pemukiman. Khususnya di perkampungan macam ini.
Mendadak Marzuki mengajaknya ke luar rumah. Ia mengikuti dengan pandangan bertanya. Masih di dekat lapangan bulu tangkis itu, Marzuki berhenti. Ada sebuah tempat anak-anak muda kampung itu biasa berkumpul.
"Masih ingat tadinya di sini ada apa?"
Ia tersenyum. Mengangguk.
"Pohon jaran. Kak Ila," bisiknya.
"Hehehe ingetan kamu masih bagus, Man."
Ia tersenyum. Samar. Dulu di tempat itu memang ada sebatang pohon jaran. Entah apa nama latinnya. Pohonnya tinggi, besar, kokoh, sekitar 30 meter menjulang ke langit. Daunnya kecil-kecil, rimbun. Pohon kesayangannya. Hampir setiap ada kesempatan ia selalu menaikinya. Bahkan pernah bersama Marzuki ia membuat rumah-rumahan kecil dari kayu, di pohon itu. Ia senang berada di atas. Seolah tangannya bisa menjangkau langit biru. Gedung tinggi Jakarta terlihat di kejauhan. Mosaik pemukiman sekitarnya. Jika beruntung, pagi-pagi sekali, ia bahkan masih bisa melihat Gunung Salak dan Gunung Gede di kejauhan. Ia bisa menuntaskan khayalannya menjadi petualang perkasa yang menaiki tiang-tiang tinggi kapal layar yang berlayar di tengah samudera. Bahkan ia betah berjam-jam berada di atas pohon itu.
Dan sebuah kamar mandi umum tanpa atap, radius sekitar 30 meter dari pohon itu. Ingatan yang tak pernah lekang dari benaknya. Ketika dari atas pohon itu, tanpa sengaja, ia dan Marzuki memergoki tubuh perempuan dewasa yang sedang mandi. Utuh. Penuh. Sempurna. Dengan paha bak pualam, payudara indah seperti keramik Cina. Tanpa sehelai benang pun. Ia melihat semuanya. Tubuh bugil Kak Ila, istri Mas Agus, tetangganya. Basah berlumur busa sabun.
Pemandangan itu, meskipun hanya satu kali, begitu mengesankan dan sempat bersemayam lama di hatinya. Membuat dada kanak-kanaknya yang tengah memasuki masa peralihan ke usia remaja, selalu berdesir. Untuk pertama kalinya ia merasakan desakan gairah begitu kuat di sekitar celananya.
"Kamu tahu Man, aku onani pertama kalinya ya setelah ngeliat Kak Ila itu. Malamnya ketakutan setengah mati. Mikir, kemakan omongan orang, kalau onani bisa jadi buta dan gila. Bego ya, dasar anak-anak," bisik Marzuki sambil nyengir dan mengedipkan matanya.
Ia tersenyum simpul. Hal yang sama juga terjadi pada dirinya.
Sekarang pohon itu sudah tidak ada. Ditebang beberapa tahun lalu. Di bawahnya dibangun pos ronda. Namun, ia masih bisa melihat sisa pohon itu. Bonggol akar dan pangkal batangnya dibuat semacam meja oleh anak-anak muda kampung itu. Meja kayu yang tampak tua, hitam mengkilat karena dipernis berulang kali.
Meskipun hanya sebentar, ia tahu perjalanannya ke perkampungan yang pernah ditinggalinya itu memuaskan rasa ingin tahunya. Ada janji lain yang harus dipenuhinya kepada seorang relasi. Waktu untuk berpisah sudah tiba. Ia segera berpamitan pada Marzuki, masih sempat menyumpalkan lembaran uang ke tangan kurus itu
"Apaan nih, Man. Masya Allah, banyak bener. Enggak salah nih. Lima ratus ribu. Makasih ya, Man."
"Kalau ada tawaran harga cukup bagus untuk ngelepas rumah dan tanahmu, terima aja ya, Ki," katanya sambil bergerak menjauh dan melambaikan tangannya.
"Apa, Man?" Marzuki tak begitu mendengar perkataannya, karena masih terperangah pada rezeki nomplok yang hinggap di tangannya.
***
Dalam mobil yang membawanya ke salah satu hotel bintang lima di pusat kota, ia tahu ia tidak terganggu dengan kenangan sesaat dari perkampungan itu. Keputusannya tidak berubah.
Ia menelepon sekretarisnya. "Halo, Katrin, bagaimana dengan persetujuan gubernur? Sudah turun hari ini? Bagus! Saya sudah melihat lokasi itu. Sampaikan pada semua staf, saya minta mulai bergerak hari ini juga," pesannya dengan nada tegas.
Persetujuan dari gubernur sudah turun untuk studi kelayakan yang dibuat timnya terhadap wilayah itu. Cepat atau lambat warga perkampungan yang pernah menjadi tetangganya akan tergusur dari lahan itu. Dengan cara apa pun. Ia mengeraskan hatinya. Wajah-wajah mereka yang pernah dikenalnya di perkampungan itu berlarian di benaknya.
Sekarang ia siap kehilangan tempat itu. Perkampungan yang mandek dan tersesat dalam waktu. Mungkin terasa pahit pada awalnya. Tapi, obat pahit dibutuhkan untuk menyembuhkan sakit dan melanjutkan hidup. Pohon kokoh bisa ditebang jika tak dibutuhkan lagi. Marzuki dan keluarganya? Teman-temannya yang lain? Tetangganya di masa lalu? Terima kasih. Mereka akan selalu menjadi bagian kenangan hidupnya. Namun biarlah sang nasib yang akan mengatur hidup mereka selanjutnya. Ia pun hanya menjalani nasib dan kehidupannya sendiri. Ia tahu itu. Sejak lama.
Ia juga tahu berapa harga pantas untuk sebuah kenangan. Tolol kalau membiarkan perkampungan itu tetap ada dalam peta Jakarta. Lokasinya terlalu strategis untuk diabaikan dari sudut pandang ekonomi. Ia tahu ia bisa menyulapnya.
Ah, pesulap. Tiba-tiba saja ia ingat nama-nama itu.
"Rustam, kamu tahu pesulap yang namanya Houdini atau David Copperfield?" Ia bertanya pada sopirnya.
"Yang David itu pernah dengar, Tuan. Yang satu lagi, belum. Kenapa, Tuan?"
"Tidak apa-apa."
Ia tersenyum. Dengan koneksi, modal, dan kekuasaan yang dimilikinya, ia tahu ia bisa menjadi "pesulap" yang lebih baik daripada Houdini atau David Copperfield! ***
Jakarta, akhir Januari-awal Mei 2004
Untuk Ulfi Faizah di Malang
Cerpen Rachmat H. Cahyono
Lelaki bertubuh kecil bernama Marzuki itu terkejut melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Ia serasa mengenali garis-garis wajah itu.
"Man, Lukman, masya Allah. Bener ini kamu, Man?"
Lelaki yang disapa Marzuki itu tersenyum. Benar, itu memang Lukman, kawan masa kecilnya.
"Apa kabar, Ki?"
Mereka saling berangkulan. Lebih tepat, Marzuki merangkulnya lebih dulu.
"Nggak saya sangka, Man. Keren banget kamu sekarang. Cakep. Berapa tahun ya kita enggak ketemu?"
Sebaliknya, ia justru melihat kehidupan mandek begitu saja di suatu tempat. Berubah menjadi hantu tumpukan persoalan yang membuat kenalan lamanya itu terlihat lebih tua daripada usia sebenarnya. Uban di rambut, kantong mata kendor, letih menatap hidup. Tubuh kecil ringkih.
Ia sengaja menyulap dirinya menjadi peziarah yang singgah sebentar ke tempat lama yang dikenalnya. Perkampungan itu. Perkampungan di tengah ibu kota. Hampir 20 tahun berlalu, semenjak keluarganya membawanya merantau ke kota lain. Ke pulau lain. Lalu menghilang dalam kelebat hidup bergegas di negeri empat musim.
Sekolah. Bekerja. Berkeluarga. Perkelaminan. Hidup ternyata cuma deretan angka-angka.
Berapa umurmu? Apakah nilai sekolahmu selalu bagus? Hei, kau sudah bekerja ya, berapa gaji pertamamu? Sudah berapa lama ya kita tidak ketemu? Nomor teleponmu yang sekarang dong? Umur berapa kau menikah? Berapa anakmu sekarang?
Hah. Angka. Angka. Angka.
Sekarang angin membawanya kembali ke sana. Ke tempat ia melewati masa kanak-kanak dan tahun-tahun awal masa remajanya. Dua puluh tahun lalu. Bukan waktu sebentar. Cukup untuk mengaburkan segala kenangan masa silam menjadi serpihan-serpihan samar yang tak lagi jelas warna dan bentuknya. Ah, kenangan. Bisakah manusia hidup dari kenangan?
Betapa pun ia menyukai kunjungan itu. Apa pun alasannya. Apa pun maknanya. Ia bisa kembali menginderai perkampungan yang begitu "kampungan" itu ("kampungan". Ia selalu mengucapkan kata itu dengan nada rindu yang berbekas di ujung lidahnya). Bertemu bau khas memualkan meruap dari selokan mampet berwarna keruh kehitaman. Terkadang ada bangkai tikus bengkak dengan perut membesar keputihan, mengambang di selokan. Orang-orang berlalu dengan sorot mata jijik dan tangan menutup hidung.
Tak ada kata lain yang lebih tepat selain mengakui perkampungan di tengah kota itu memang jorok betul dan kampungan betul. Padahal, letaknya bersisian dengan salah satu jalan penting di pusat Jakarta. Sebuah perkampungan tua. Konon riwayatnya bisa dirunut sejak Sultan Agung dari Mataram memutuskan menyerbu VOC di Batavia. Prajurit Sultan Agung yang tercecer kemudian menetap di perkampungan itu, kawin mawin dengan penduduk asli, beranak pinak. Jangan-jangan mereka desersi karena gagal menaklukkan birahi mereka sendiri.
Bagaimanapun, perkampungan itu pernah ikut mengasuh dan membesarkannya.
***
Marzuki mengajak mampir ke rumahnya. Ia penuhi ajakan itu. Masih rumah lama, rumah warisan orang tua. Letaknya berdekatan dengan lapangan bulu tangkis tempat dia bermain di masa kanak-kanak dulu. Sekarang lapangan itu sudah disemen, rapi, dengan garis-garis permainan dari ubin keramik putih, bukan lagi irisan bambu.
Hanya rumah Marzuki kelihatannya tidak banyak berubah. Letaknya masih lebih rendah daripada selokan di depan rumah. Rumah kecil yang catnya mengelupas dan selalu ramai celoteh kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Yang selalu kebanjiran ketika musim hujan tiba. Marzuki memperkenalkannya pada perempuan berpenampilan seadanya. Istrinya.
Ia memaksa diri minum teh manis yang dibuatkan perempuan itu. Terlalu manis. Gelasnya tidak terlalu bersih; masih tersisa aroma sabun. Agaknya dicuci tergesa-gesa. Gelas murahan, dapat gratis jika membeli barang-barang tertentu di pasar.
Ia tak membiarkan Marzuki bertanya lebih jauh perihal kehidupannya sekarang. Buat apa. Ia tahu dunia mereka sudah terlalu jauh berbeda. Justru ia yang sibuk bertanya-tanya pada kawannya itu mengenai kehidupannya sekarang. Kehidupan kawan-kawan lama mereka. Orang-orang yang pernah dikenalnya, yang ikut mewarnai kehidupannya di masa lalu. Begitu banyak perubahan. Bukan untuk mengorek, tapi sekadar memenuhi rasa ingin tahunya saja.
"Si Jimi?"
"Jadi Bandar putaw. Mati. Ditembak polisi."
"Astaga. Kalo Syafri?"
"Di Arab. Jadi TKI."
"Rima?"
"Di Surabaya. Bini kedua. Anaknya udah tiga."
"Syamsul?"
"Alhamdulillah, dia yang paling bener hidupnya. Sekarang punya pesantren kecil. Di Bogor."
"Masduki?"
"Kerja di pabrik gelas di Tangerang."
"Ustad Bibi?"
"Meninggal, Man. Tahun lalu. Darah tinggi."
"Innalillaahi "
Ah, kenangan manis. Masa kanak-kanak. Percakapan mengalir begitu saja. Wajah-wajah berlintasan. Samar-samar. Sayup-sayup. Ada orang mengaji Quran. Ingatan mengalir kembali. Ustad Bibi, Habibi, dengan rotan yang tidak pernah ketinggalan dihantamkan di rehal. Sakitnya cubitan ustad itu. Ia pandai mencubit seperti perempuan. Kecil, pedih, berbekas di paha.
Terbayang kembali masjid kecil dengan dinding setengah tembok setengah kayu, di tengah perkampungan, tempat dia belajar mengaji. Suara anak-anak membaca juz Amma. Ada suaranya di sana. Kecil. Nyaring. Cerita tentang sorga dan neraka. Nanti di alam kubur akan ditanyai malaikat. Ah, kenangan.
Untuk sesaat, ia juga bisa melihat kemuraman terhapus dari wajah Marzuki. Mereka tertawa, semakin larut dalam kenangan masa kanak-kanak.
"Tapi sekarang perkampungan ini tambah gersang ya, Ki? Pohon gede semakin jarang kelihatan."
Marzuki mengangguk, masih ingat betapa mereka dulu begitu gemar memanjat pohon. Sekarang perkampungan itu semakin kehilangan pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak. Mungkin karena rumah-rumah semakin tumbuh merapat. Tak ada lagi lahan tersisa untuk tumbuh sebatang pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak.
Padahal, begitu cintanya mereka waktu itu pada pohon tinggi. Pohon apa saja. Makin tinggi makin menantang. Ya, ia tetap mengingatnya dengan baik. Pohon mangga, pohon jambu air, pohon seri, pohon cereme. Bahkan pohon buni di dekat rumah kosong yang angker dan konon ada penghuninya, dengan buah kecil-kecil yang masam dan segar buat kelengkapan rujak tumbuk. Jenis buah yang tak lagi dikenali anaknya yang terbiasa dengan buah-buahan impor yang berderet di super market. Ah, Jakarta, ibu kota ini terlalu pelit dalam memberikan pohon di lingkungan pemukiman. Khususnya di perkampungan macam ini.
Mendadak Marzuki mengajaknya ke luar rumah. Ia mengikuti dengan pandangan bertanya. Masih di dekat lapangan bulu tangkis itu, Marzuki berhenti. Ada sebuah tempat anak-anak muda kampung itu biasa berkumpul.
"Masih ingat tadinya di sini ada apa?"
Ia tersenyum. Mengangguk.
"Pohon jaran. Kak Ila," bisiknya.
"Hehehe ingetan kamu masih bagus, Man."
Ia tersenyum. Samar. Dulu di tempat itu memang ada sebatang pohon jaran. Entah apa nama latinnya. Pohonnya tinggi, besar, kokoh, sekitar 30 meter menjulang ke langit. Daunnya kecil-kecil, rimbun. Pohon kesayangannya. Hampir setiap ada kesempatan ia selalu menaikinya. Bahkan pernah bersama Marzuki ia membuat rumah-rumahan kecil dari kayu, di pohon itu. Ia senang berada di atas. Seolah tangannya bisa menjangkau langit biru. Gedung tinggi Jakarta terlihat di kejauhan. Mosaik pemukiman sekitarnya. Jika beruntung, pagi-pagi sekali, ia bahkan masih bisa melihat Gunung Salak dan Gunung Gede di kejauhan. Ia bisa menuntaskan khayalannya menjadi petualang perkasa yang menaiki tiang-tiang tinggi kapal layar yang berlayar di tengah samudera. Bahkan ia betah berjam-jam berada di atas pohon itu.
Dan sebuah kamar mandi umum tanpa atap, radius sekitar 30 meter dari pohon itu. Ingatan yang tak pernah lekang dari benaknya. Ketika dari atas pohon itu, tanpa sengaja, ia dan Marzuki memergoki tubuh perempuan dewasa yang sedang mandi. Utuh. Penuh. Sempurna. Dengan paha bak pualam, payudara indah seperti keramik Cina. Tanpa sehelai benang pun. Ia melihat semuanya. Tubuh bugil Kak Ila, istri Mas Agus, tetangganya. Basah berlumur busa sabun.
Pemandangan itu, meskipun hanya satu kali, begitu mengesankan dan sempat bersemayam lama di hatinya. Membuat dada kanak-kanaknya yang tengah memasuki masa peralihan ke usia remaja, selalu berdesir. Untuk pertama kalinya ia merasakan desakan gairah begitu kuat di sekitar celananya.
"Kamu tahu Man, aku onani pertama kalinya ya setelah ngeliat Kak Ila itu. Malamnya ketakutan setengah mati. Mikir, kemakan omongan orang, kalau onani bisa jadi buta dan gila. Bego ya, dasar anak-anak," bisik Marzuki sambil nyengir dan mengedipkan matanya.
Ia tersenyum simpul. Hal yang sama juga terjadi pada dirinya.
Sekarang pohon itu sudah tidak ada. Ditebang beberapa tahun lalu. Di bawahnya dibangun pos ronda. Namun, ia masih bisa melihat sisa pohon itu. Bonggol akar dan pangkal batangnya dibuat semacam meja oleh anak-anak muda kampung itu. Meja kayu yang tampak tua, hitam mengkilat karena dipernis berulang kali.
Meskipun hanya sebentar, ia tahu perjalanannya ke perkampungan yang pernah ditinggalinya itu memuaskan rasa ingin tahunya. Ada janji lain yang harus dipenuhinya kepada seorang relasi. Waktu untuk berpisah sudah tiba. Ia segera berpamitan pada Marzuki, masih sempat menyumpalkan lembaran uang ke tangan kurus itu
"Apaan nih, Man. Masya Allah, banyak bener. Enggak salah nih. Lima ratus ribu. Makasih ya, Man."
"Kalau ada tawaran harga cukup bagus untuk ngelepas rumah dan tanahmu, terima aja ya, Ki," katanya sambil bergerak menjauh dan melambaikan tangannya.
"Apa, Man?" Marzuki tak begitu mendengar perkataannya, karena masih terperangah pada rezeki nomplok yang hinggap di tangannya.
***
Dalam mobil yang membawanya ke salah satu hotel bintang lima di pusat kota, ia tahu ia tidak terganggu dengan kenangan sesaat dari perkampungan itu. Keputusannya tidak berubah.
Ia menelepon sekretarisnya. "Halo, Katrin, bagaimana dengan persetujuan gubernur? Sudah turun hari ini? Bagus! Saya sudah melihat lokasi itu. Sampaikan pada semua staf, saya minta mulai bergerak hari ini juga," pesannya dengan nada tegas.
Persetujuan dari gubernur sudah turun untuk studi kelayakan yang dibuat timnya terhadap wilayah itu. Cepat atau lambat warga perkampungan yang pernah menjadi tetangganya akan tergusur dari lahan itu. Dengan cara apa pun. Ia mengeraskan hatinya. Wajah-wajah mereka yang pernah dikenalnya di perkampungan itu berlarian di benaknya.
Sekarang ia siap kehilangan tempat itu. Perkampungan yang mandek dan tersesat dalam waktu. Mungkin terasa pahit pada awalnya. Tapi, obat pahit dibutuhkan untuk menyembuhkan sakit dan melanjutkan hidup. Pohon kokoh bisa ditebang jika tak dibutuhkan lagi. Marzuki dan keluarganya? Teman-temannya yang lain? Tetangganya di masa lalu? Terima kasih. Mereka akan selalu menjadi bagian kenangan hidupnya. Namun biarlah sang nasib yang akan mengatur hidup mereka selanjutnya. Ia pun hanya menjalani nasib dan kehidupannya sendiri. Ia tahu itu. Sejak lama.
Ia juga tahu berapa harga pantas untuk sebuah kenangan. Tolol kalau membiarkan perkampungan itu tetap ada dalam peta Jakarta. Lokasinya terlalu strategis untuk diabaikan dari sudut pandang ekonomi. Ia tahu ia bisa menyulapnya.
Ah, pesulap. Tiba-tiba saja ia ingat nama-nama itu.
"Rustam, kamu tahu pesulap yang namanya Houdini atau David Copperfield?" Ia bertanya pada sopirnya.
"Yang David itu pernah dengar, Tuan. Yang satu lagi, belum. Kenapa, Tuan?"
"Tidak apa-apa."
Ia tersenyum. Dengan koneksi, modal, dan kekuasaan yang dimilikinya, ia tahu ia bisa menjadi "pesulap" yang lebih baik daripada Houdini atau David Copperfield! ***
Jakarta, akhir Januari-awal Mei 2004
Untuk Ulfi Faizah di Malang
Baca juga Cerpen Persahabatan yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment