NISAN
Cerpen Mila Minhatul Maula
Aku tahu, kini aku sering memikirkannya. Bayangan-bayangan kesalahan masalalu terus menghantuiku. Memenuhi seluruh kapasitas memory otakku tanpa sedikit celahpun yang tersisa. Meski aku telah mencoba menghapus semua rasa bersalah dengan deraian air mata tanpa henti, itu percuma!!. Karena yang aku lihat kini hanyalah sebongkah batu nisan putih diatas gundukan tanah yang bertuliskan nama ibuku.
“harusnya, aku dulu mendengarkan semua ucapmu bunda.?!!”. penyesalanku kini harus terwakili oleh rangkaian kata yang tak berarti lagi.
“harusnya, aku dulu mendengarkan semua ucapmu bunda.?!!”. penyesalanku kini harus terwakili oleh rangkaian kata yang tak berarti lagi.
Perlahan-lahan, otakku memutar memory masalaluku yang kelam, bayangan wajah ibu yang tersenyum tulus terpampang jelas di depan indera penglihatanku, memberikan senyum merekah tulus dan kasih sucinya, tapi hanya kubalas dengan nada kasar yang terlampau tinggi, lalu aku meninggalkannya bersama butiran-butiran bening yang menghiasi kedua sudut matanya. Aku berlalu membawa seluruh barang-barangku tanpa bekal do’a dan izin darinya. Menuruti semua ego yang mudah terbakar, mencari kebebasan di dunia luar bersama teman-teman, tanpa tersadar kalau itu hari terakhir aku bisa menatap lekat wajah sosok ibu tua yang sudah mulai kusut karena perjuangannya membesarkanku selama ini, tapi aku tak menghiraukan isak tangisnya, bahkan aku hempaskan genggaman tangannya yang lemah.
Bayangan itu masih terekam jelas, menyakitkan!!. Wajah tuanya begitu tulus, menggambarkan semua pengorbanan yang tak pernah kusadari saat itu, hanya tuntutan, remehan dan semua hal buruk yang aku berikan padanya, tanpa membuktikan dan membuatnya bangga dengan keberadaanku.
“menangis lagi, eh?” aku tersentak kaget, terbangun dari semua bayangan-bayagan masalalu yang terus meghujam batinku, ketika seseorang menepuk pundakku pelan. “lupakan saja semuanya, ibumu pasti sudah memaafkanmu”. Lanjutnya.
“menangis lagi, eh?” aku tersentak kaget, terbangun dari semua bayangan-bayagan masalalu yang terus meghujam batinku, ketika seseorang menepuk pundakku pelan. “lupakan saja semuanya, ibumu pasti sudah memaafkanmu”. Lanjutnya.
Aku menghela nafas dan menatap sosok laki-laki yang mebuatku kaget dengan sesekali mengusap air mataku. Kacamata setebal piring kini menghilang, berganti dengan lensa berwarna biru menyala yang menyilaukan. Dia tampak lebih dewasa dari yang dulu aku kenal. “rasyid” ucapku dalam hati. Perlahan-lahan dia duduk di sampingku dengan menaburkan bunga di atas makam ibuku.
“semua sudah terjadi tha” ucapnya. Kali ini dengan menuangkan air ke atas makam ibuku.
“tapi ini nggak adil?!!”nada bicaraku kelewat keras, dan ekspresiku nyaris seperti anak kecil yang merengek berebut mainan. Air mata terus menggenangi pipiku.
Dia menatapku dalam, hatiku seperti luluh dan bulir-bulir air mata kembali memenuhi mataku yang sudah bengkak dan memerah karena kesedihan. Sesegera mungkin tanganya yang legam meraih tubuhku dan menyandarkan kepalaku ke atas bahunya.
“mytha, dengerin aku, semua sudah terjadi!! Penyesalanmu nggak akan mengulang waktu” ucapnya menenangkanku yang seakan-akan, kini sedang terdampar di pulau penyesalan yang berkabut hitam. “yang harus kamu lakukan hanyalah, buat Ibumu disana bangga”.tambahnya. aku semakin terisak-isak menyesali semua salahku.” Buat dia bangga, dan buktikan kalau kamu sudah berubah” ucapnya lagi.
Perlahan-lahan, kuangkat kepalaku, ketika kulihat sosok berjubah putih berdiri menatapku dari sudut area pemakaman, wajahnya yang keriput kini berubah mencerah, secerah kasih sayangnya yang tanpa henti untukku selama ini. Senyum manis yang kurindukan, kini terlihat menghiasi wajahnya, mungkin dia ibuku.
Dia tersenyum bangga, karena baru saja melihat drama penyesalan yang sangat. Tapi lambat laun, sosok itu kabur, menjauh dan terus menjauh. Dibiaskan oleh cahaya mentari yang semakin terik dan bayangan itu hilang.
Ada sedikit rasa lega yang menghampiriku, menumbuhkan tekad dan janjiku untuk berubah menjadi lebih baik. Hari ini, besok dan selamanya.” Aku janji bu, selamat hari ibu bunda..”ucapku lirih tak terasa tetesan terakhir air mataku jatuh. Meski ibuku kini sudah tiada, tapi aku percaya kau mendengarku bunda. Sebuah kata penutup yang mengiringi hilangnya bayangan sosok yang ku kasihi.
Aku memang nggak bisa mengulang waktu yang telah berlalu, tapi aku masih punya kesempatan untuk memperbaiki hari esok dan kedepan. nggak ada kata terlambat untuk berubah.
Rasyid kembali meraih tanganku dan mengajakku pulang. Tanpa banyak kata, ku ikuti langkah kakinya kakiku terus melangkah menjauhi tempat peristirahatan terahir ibuku, tapi hatiku sedikit lega karena bisa melihatnya tersenyum, meski hanya sebuah bayangan, tapi aku percaya itu.
PROFIL PENULIS
Aku Mila MInhatul Maula,
Aku lahir di Nganjuk 15 Mei 1994.dan tinggal di Nganjuk pastinya.
Aku masih sekolah di MAN Nganjuk kelas XII.menulis adalah salah satu hobbyku.
FB:Meyla Fasya
@mail:azzuraimoet@ymail.com
FB:Meyla Fasya
@mail:azzuraimoet@ymail.com
0 comments:
Post a Comment