Wednesday, May 2, 2012

Cerpen Cinta - Nada Cinta Pergi Meninggalkan Hati yang Mulia Berirama

NADA CINTA PERGI MENINGGALKAN HATI YANG MULAI BERIRAMA
Cerpen Amalia Eronia
 
What’s on your mind ?
Now playing#Mozart Pachebell-Canon in D(violin, cello & harp)
Now playing#Beethoven- Fur Elize

Yah, begitulah kata-kata yang selalu dia jadikan postingan status facebooknya, begitu pula dengan akun twitternya .
Begitulah dia, dengan kecintaannya terhadap musik klasik. Yang paling dia suka adalah karya dari Mozart dan Beethouven. Menurut sumber yang aku baca, di balik music klasik tersirat sebuah kekuatan yang bisa menjadikan otak terhantar pada suatu kecerdasan. Tentu, mungkin music menjadikan semua orang terenyuh dan terbuai akan alunan nada-nada indahnya.

Orang yang aku ceritakan adalah Eliza Meloda Qweensha, orang-orang menganggap namanya unik. Mereka bilang Meloda, tetapi ia tak bisa bermain music. Yang kulihat ia hanya tersenyum manis sembari menjawab kecil

“aku tak punya bakat dan tak ada yang mengajariku”

Kisah ini berawal pertama kali aku masuk ke Universitas Seni Negara yang menerima murid dengan segudang cinta terhadap seni. Menggambar, seni rupa, drama, alat music, menyanyi dan lain sebagainya. Disanalah pada awalnya aku selaku mahasiswa senior di Universitas tersebut dan Eliza sebagai juniorku. Eliza adalah murid dari kelas menyanyi, sedangkan aku dari kelas Violin. Mulanya aku tak mengenal Eliza. Ada suatu ketika aku sampai bisa mengenalnya.

Hari itu adalah pertunjukan biola di kampus untuk diperkenalkan pada junior baru. Pertunjukan tersebut terdiri dari 5 orang perwakilan kelas biola, salah satunya adalah aku.
Akhirnya kami selesai dan menghadirkan pertunjukan dengan sukses, semua junior memberikan tepuk tangan yang meriah. Lalu kami pergi ke belakang panggung setelah acara selesai.
“Hei Robin, kau lihat gadis paling depan tadi? Aku heran dengannya, ia menatap pertujukkan kita dengan seksama tetapi hanya dia yang tidak memberi tepuk tangan.” Kata Fredy tiba-tiba bertanya padaku.
“Hehe, entahlah aku tidak memperhatikannya. Rupanya kau, aku fikir kau selalu dingin terhadap perempuan tetapi kali ini kau memperhatikan perempuan.” Jawabku sambil melempar tawa pada Fredy.
“Andai kau melihatnya, tatapan gadis itu tertuju antara kau dan aku.” Kata Fredy
“Ah sudahlah, kau terlalu serius. Mungkin ia terkesima dengan penampilan kita.” Jawabku padanya sambil bergegas untuk pulang.

Pagi pun tiba, seperti biasa aktivitasku ke kampus untuk latihan biolaku, aku berharap suatu saat aku bisa turut serta bermain dalam orchestra besar memainkan simfoni-simfoni indah seperti Corp, Mozart, Beethoven. Aku mulai berjalan memasuki koridor ruangan dan memasuki ruang Biola. Belum ada siapa-siapa dalam ruangan kecuali dosen yang melatih Biola, Mr.Krisna.
“Selamat pagi Robin, seperti biasa kau datang pagi hari ini. Andai semua mahasiswa sepertimu. Mereka tidak menghiraukan baiknya udara pagi untuk beraktivitas sembari memainkan music indah cukup membuat nyaman menurutku.” Kata Mr.Krisna
“Pagi Mister, hehe, lantas mau bagaimana lagi? Bukankah kau yang bilang kelas di mulai pukul 08.00 pagi, ya pasti mereka santai di rumah mereka masing-masing.” Jawabku.
“Lantas mengapa kau datang selalu pagi-pagi? Kau bangun pukul berapa? Semalam tidur jam berapa?” Tanya Mr.Krisna kembali.
“Aku biasa tidur pukul 9 malam, dan bangun pukul 4 pagi, bukankan tidur selama 6 jam akan membantu meningkatkan kualitas kecerdasan otak, Mister? Aku selalu menuruti saranmu, aku datang kemari ingin menghantarkan diri pada relaksasi di pagi hari dengan biola yang kumainkan, bukankah itu pula yang kau mau? Hehe.” Jawabku tersenyum.
“Hahaha, luar biasa jawabanmu, semoga kau menjadi seorang composer besar suatu saat nanti.” Ucapnya diiringi doa.
“Amen, semoga Tuhan mendengar doamu, Mister.”

Setelah percakapanku dengan Mr.Krisna, aku memulai dengan gesekkan melody biola pertamaku. Mr.Krisna keluar sejenak dari ruangan karena ada tamu untuknya, aku sendiri di ruangan ini dengan biola yang kumainkan.
“Ehhemm..” Aku mendengar suara dari balik badanku, aku pun berbalik dan melihatnya. Seorang gadis, gadis yang Fredy bicarakan kemarin padaku.
“Maaf nona, anda mencari siapa ?” Tanyaku pada gadis itu.
“Kakak seniorku, maaf aku mengagetkanmu. Aku ingin mengenalmu, aku kagum sekali melihat penampilan biolamu kemarin bersama teman-temanmu, sungguh aku terpukau.” Katanya sembari tersenyum.
“Oh, ya. Terimakasih. Emh, aku Robin, siapa namamu?” jawabku sembari bertanya siapa namanya.
“Aku Eliza Meloda Qweensha dari kelas vocal-1. Kau bisa memanggilku Eliza.” Jawabnya tersenyum.

Itulah awal perkenalanku dengan Eliza, juniorku yang ternyata sama-sama menyukai music klasik. Yang paling ia suka adalah Mozart dan Beethoven dari ceritanya.
“Mengapa aku suka music klasik ka, jujur saja aku orang yg insomnia. Tiap malam aku sulit tidur apalagi bila keadaan sedang gelap. Lalu aku mendengar lagu ‘twinkle-twinkle little star’ versi klasik lalu memejamkan mataku. Berharap bintang terang turun dari langit untuk menemaniku dan menyinari gelapnya duniaku,hehe. Kalau kau kak, mengapa kau suka music klasik ?” Tanyanya padaku.
“Because music classic is wonderfull song, cukup satu jawaban saja, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Terlalu indah untukku .” Jawabku simple. Dan ia tersenyum lagi.

Seharian bersama Eliza membuat aku tahu bagaimana karakteristiknya. Ia serba ingin tahu. Apapun ia pertanyakan, sampai pertanyaan yang tak bisa ku jawab ia tanyakan. Contohnya
“Manusia terbentuk dari sel-sel, tapi ada satu yang bukan terbentuk dari sel yaitu perasaan, cinta. Dari apa cinta tumbuh? Bagian mana yang manusia rasakan dari cinta? Mengapa cinta bisa membuat perih, menangis dan tersenyum? Bagaimana wujudnya?”
Sungguh aku anggap pertanyaan tersebut sulit ku jawab, sampai sejauh ini aku hanya mencintai benda dan hasil dari benda tersebut yaitu biola dan nada. Entah dengan cinta, selama ini biolaku tak pernah membuatku menangis, atau perih. Membuatku tersenyum, tertawa tentu saja selalu ketika berkumpul bersama teman-temanku untuk latihan biola. Dan aku jawab pertanyaan tersebut sebisaku walaupun aku tak yakin.
“Cinta itu sejauh mana kau memandang sesuatu yang kau sukai .” Jawabku. Lagi-lagi ia tersenyum seakan kata-kataku ini lucu di pendengarannya.

2 jam aku lalui bersama Eliza, ternyata ia gadis yang lucu dan penuh segudang rasa ingin tahu yang tinggi. Ia gadis yang cerdas.
“Hei anak kecil, namamu begitu indah. Meloda, darimana orangtuamu mencari nama itu? Apa mereka adalah penyuka music juga?” tanyaku pada Eliza.
“Hehe, siapa yang kau anggap anak kecil? Aku? Baiklah Pak tua aku akan menjawab pertanyaanmu. Eliza Meloda Qweensha, nama ini ayahku yang memberinya. Dengan harapan selalu tersirat nada-nada indah pada diriku. Dan Eliza sendiri adalah nama yang ayah kutip dari judul lagu Beethoven yaitu Fur Elize, artinya yaitu untuk Eliza ketika Beethoven Van Ludwig ditinggal pergi Eliza karena ia menikahi pria lain. Cintanya tak pernah terbalaskan lalu Beethoven mencurahkannya pada sebuah nada. Dan nada Fur Elize sungguh mendunia sampai-sampai nada itu selalu ada pada suara kotak music. Hebat! Itulah yang aku kagumi dari sosok Beethoven dan ayah yang menghargai karyanya.” Jawab Eliza dengan ceritanya yang begitu menarik.
“Waw, hebat sekali. Berarti kau pintar bermain music? Iya kan?? Pasti ayahmu yang mengirimkanmu untuk masuk Universitas Seni? Tanyaku kembali .
“Ya, masuk Universitas Seni adalah amanat ayahku sebelum ia pergi meninggalkan kami. Aku dan ibu. Sebelum beliau pergi, beliau berkata ‘aku ingin kau kelak berdiri di panggung besar, tunjukan apapun bakatmu, nak. Hadirkan tepukan meriah untukmu dari semua orang dan mereka akan mengagumi penampilanmu’. Begitulah kata ayah, aku sedih.. apa bakatku dalam seni? Main alat music satupun saja aku tak bisa. Aku tak punya bakat dan tak ada yang mengajariku, coba kalau ayah masih ada pasti ia akan ajari aku sampai aku menjadi apa yang beliau inginkan.”jawabnya sambil menitikan air mata.
“Jadi ayahmu sudah meninggal. Oh maaf, aku tak tahu. Sudahlah jangan bersedih. Kau sudah tahu sekarang kau harus jadi apa kan? Tunjukkan kau mampu, suatu saat kau pasti bisa berada dalam panggung besar.” Jawabku menenangkannya.

Aku baru tahu sekarang kehidupannya, aku memiliki seorang adik perempuan. Tetapi kesedihannya tak pernah ia ceritakan padaku. Sedangkan Eliza, bukan bagian anggota keluargaku tetapi dalam sehari saja ia bisa menumpahkan kesenangan, keceriaan, emosi dan air matanya padaku. Aku jadi prihatin padanya. Eliza jadikanlah aku sebagai kakakmu bila kau dalam kesedihan aku siap dengarkan keluhanmu…

Esok haripun tiba, aktivitasku masih seperti biasanya. Biola, biola dan biola..
Aku berharap sebuah perubahan dari permainan biolaku. Mungkinkah? Tapi perubahan apa? Owh, otakku mulai buntu.
“Hai, selamat pagi kakakku. Merindukanku? Hahahha.” Suara seorang gadis menyapaku. Rupanya dia Eliza.
“Hehe kau lagi, tiba-tiba muncul. Apa aku mengundangmu? Aku rasa tidak. Haha” kataku sambil melontarkan lelucon.
“Hahaha, jahat sekali kau kak, keterlaluan kalau sampai kau tidak rindukan aku. Karena aku merindukanmu. Hehe aku berani jujur kak. Kau asik diajak mengobrol. Kau sudah seperti kakakku sendiri.” Kata Eliza.

Aku heran mengapa ia bisa satu fikiran denganku, akupun sama menganggapnya adik ketika ia menganggapku kakak.
“Hehe, okke! Kau adikku yang bawel sekali.” Jawabku. Dan ia tersenyum.
“Hehe. Hei kak, coba sekali lagi. Aku ingin mendengarmu memainkan biola. Ayolaaah . mainkan untuk adikmu ini.” Pintanya padaku.
“Baiklah, kau ingin lagu apa? Ini special untukmu.” Kataku
“Tahu kan lagu Demi Lovanto? Judulnya The Gift of a Friend. Mainkan untukku kak..” katanya sembari memohon dengan wajah imutnya.
“Hehe, oke oke..dengarkan yaa..”
Aku mulai dengan nada awalku, untung saja aku tahu lagunya dan aku pun pernah menyanyikannya dalam versi biola.

“Sometimes you think you’ll be fine by your self.. Cause a Dream is a Wish You Make all alone..” aku dengar Eliza bernyanyi. Aku terdiam, suaranya indah. Alunan biolaku dengan suaranya sangat pas dan klasik. Aku tetap focus dengan biolaku sampai aku selesai memainkan lagu tersebut diiringi nyanyian dari Eliza.
“Hei, suaramu. Amazing sekali. Darimana kau belajar bernyanyi??” tanyaku padanya.
“Hehe, aku tak belajar dari mana-mana. Mengasah sendiri di dalam kamar mandi. Yang aku bisa hanya bernyanyi, makanya aku mengambil kelas vocal. “ jawabnya ringan. Ia tak pernah sadar ada sesuatu yang luar biasa dari dirinya. Ia bisa menceritakan sejarah-sejarah para pemain music klasik. Ia menggambarkan perasaan lewat nyanyiannya. Dan suaranya yang indah.
“Belajar sendiri? Benarkah? Kalau begitu asah lagi suaramu sampai bisa menembus ke hati orang-orang yang mendengarnya.” Saranku padanya. Ia mengangguk dan tersenyum seakan mengerti apa yang aku maksud dan harapanku padanya.

Sejak saat itu aku sering melakukan kegiatan tersebut bersama Eliza. Aku mengasah permainan biolaku dan ia mengasah suararanya. Sampai akhirnya tiba satu semester aku lewati bersamanya.
Tengah semester, Universitas kami selalu mengadakan pentas seni. Rencananya aku, kawan-kawan sepermainan violin akan ikut serta mengisi acara. Kali ini ada yang berbeda. Eliza, yaa..tentu saja dia ikut gabung pula ke dalam kelompok kami. Ia akan menyanyi diiringi permainan biola kami. Dan music yang akan kami tampilkan bertema Clássicas - Mozart - Rainha da Noite (A Flauta Mágica). Eliza akan bernyanyi dengan gaya seriousanya.
“Baiklaahh, pentas seni akan dimulai 3 hari lagi. Ayo semangat!! Hehe”. Begitulah Eliza, tersirat semangat, senyuman pada dirinya. Itu yang membuatku nyaman dekat dengannya. Ia bisa memposisikan diri sebagai sahabat, adik, terkadang seperti seorang ibu. Tapi ada satu bagian dimana aku tidak bisa mendeteksikan posisi apa ini? Terkadang hatiku berdebar tiap kali Eliza menatapku. Ah! Aku anggap hanya perasaanku saja. Tapi ini sangat membuatku bahagia.

Hari ke-3 pun tiba. Kami para tim dari kelas Violin bersiap. Pakaian resmi dengan pita kupu-kupu kami. Dan munculah Eliza dengan gaun seperti putri raja yang cantik, rambut yang tergelung rapih dan bermahkota.
“Waw. Cantik sekali kau Eliza. Kau seperti putri raja sungguhan.” Puji teman-temanku pada Eliza.
“Ehehem, benarkah? Terimakasih kawan-kawan . kalian juga seperti pangeran-pangeran tampan di negeri dongeng. Hehe.” Jawabnya. Aah, aku heran mengapa hanya aku yang tak berani bilang dia cantik. Bagiku dia benar-benar lebih cantik dan aku terpukau. Dia anggun dan senyumnya manis sekali tak pernah lepas dari wajahnya. Oh Tuhan, apakah aku jatuh hati padanya?? Masih menjadi misteri.

Kini saatnya kami tampil. Di sana terdapat guru-guru besar pecinta music yang menonton kami. Kami mulai menggesek biola kami. Eliza pun mengeluarkan suaranya. Indah, merdu. Ritme suaranya benar-benar panjang. Aku heran mengapa ia tak jadi penyanyi saja langsung? Akhirnya selesailah kami dengan penampilan kami. Tepuk tangan kali ini benar-benar meriah. Mungkin ada Eliza yang meramaikan suasana.

Hari ini aku merasa penampilanku sukses besar. Tak seperti semester lalu. Rupanya pentas seni tersebut masuk ke surat kabar dan aku ada di dalamnya, bersama tim kami dan Eliza. Yang paling di update adalah Eliza karena suaranya. Rupanya ada seorang guru besar yang tertarik pada suara Eliza.
“Hei kak, kau tahu kita masuk surat kabar?” Tanya Eliza padaku.
“Ya, ku tahu. Ada dirimu disana. Dan kau jadi pokok berita utama.” Jawabku padanya.
“Bukan hanya itu kak, seorang guru besar pengamat music bernama Dr.Franklin C Samore yang diundang oleh Universitas kita datang menawariku bernyanyi di pagelarannya di sebuah istana kerajaan yang akan dihadiri beribu orang. Wah, menurutmu aku harus bagaimana kak?”jawabnya dengan wajah penuh dilema.
“Hei, mengapa kau ragu? Bukankah berdiri di atas panggung yang besar dengan pentas yang meriah dan ditonton beribu-ribu orang yang akan memberimu tepuk tangan adalah cita-citamu dan ayahmu? Maka terimalah tawaran tersebut dan wujudkanlah cita-cita itu adikku.” Jawabku padanya.

Tiba-tiba Eliza memelukku sambil menangis.
“Itu artinya sedikit waktuku bersamamu kak, hiks..aku takkan bisa bernyanyi dengan iringan biolamu lagi. Tapi bila kau berkata seperti itu, aku akan mengejar cita-citaku kak.” Katanya. Sungguh baru kali ini ada perempuan menangis di pelukanku.
“Mengapa kau bicara seperti itu, bukankah kau masih bisa bertemu denganku lagi meski kau sudah menjadi penyanyi besar. Kau masih kuliah disini meski kau menjadi orang terkenal. Dan kau tetap adikku Eliza, tak ada sedikit waktu antara aku dan kau.” Jawabku . entah mengapa air mataku ikut keluar. Aku rasa badfeelku tentang Eliza datang menghantuiku.
“Aku bernyanyi bersamamu kak, aku tampil di panggung itu bersamamu. Semua jasamu kak, aku takkan lupakkan itu. Please, berjanjilah kau ada di sampingku ketika aku membutuhkanmu..” jawabnya lagi. Ada apa denganmu Eliza. Kau seperti takut kita takkan pernah bertemu lagi.
“Tentu, aku janji.” Kataku sembari aku mengeratkan jari kelingkingku dengan jari kelingking Eliza. Sungguh, akupun merasa ada yang aku takutkan tentangmu…

Dengan disaksikan olehku bersama kawan-kawan violinku, Eliza akhirnya mengiyakan tawaran itu dan ia menandatangani surat perjanjian bersama Dr.Franklin. Benar-benar aku merasa telah kehilangan semangatku.

Malamnya aku tak bisa tidur, mengapa aku terus memikirkannya. Eliza, Eliza, Eliza….
Kini aku sadar arti perasaanku. Aku mencintaimu, dan aku akan katakan perasaanku nanti setelah kau selesai bernyanyi di atas panggung kerajaan.

Pagelaran tiba. Saatnya aku menyaksikan Eliza bernyanyi di atas panggung besar kerajaan tersebut. Dengan iringan music lengkap. Temanya sangat klasik sekali. Inilah yang Eliza inginkan dari cerita awal ia bertemu denganku. Semua telah terwujud.
Dan Eliza pun muncul untuk bernyanyi, kali ini suaranya begitu lembut. Tetapi sangat sedih, apa makna di balik lagu yang ia nyanyikan? Aku tak mengerti. Ia membawakannya dalam bahasa Rumanian. Semua orang terdiam memperhatikannya, bahkan sampai ada yang menitikkan air mata. Oh, apa ini? Baru kali ini Eliza bernyanyi mello sekali. Akhirnya selesailah Eliza dengan lagu tersebut. Akupun tak pernah mendengar lagu karya siapa itu.

Malam pentas aku tak bertemu dengan Eliza setelah ia turun panggung. Aku harap esok aku bertemu dengannya. Perasaan ini harus segera tersampaikan.
Esok pun tiba, aku tak sabar ingin menemuinya di kampus. Dan aku datang secepat mungkin.

1 jam aku menunggu Eliza, dia tak ada. 2 jam tetap tak nampak kehadirannya. Aku mengirim pesan padanya tidak ia jawab, facebook dan twitternya pun sama tak ada balasan. Mengapa ini tak sesuai dengan rencana. Dan akhirnya aku harus menelan kekecewaan, aku tak menemuinya hari ini.
“Mungkin ia masih sibuk dengan dunia barunya.” Ketusku dalam hati.

Hari berikutnya tiba, aku masih tak melihat Eliza di kampus. Ada apa dengannya? Dia masih belum ada liburan. Sampai hari ke tiga.. datang suatu kabar buruk padaku tentang Eliza. Teman sekelasnya memberitahuku kalau dia di rawat di rumah sakit.
“Hah!!! Ada apa dengannya? Dia sakit apa? Mengapa ia tak pernah cerita padaku.” Kataku kaget.
“Bagaimana mungkin Eliza yang tak sadarkan diri bisa memberimu kabar. Ia sakit kangker otak, sebenarnya telah lama ia mengidap penyakit tersebut. Mungkin ia sembunyikan dari kita. Entah mengapa senyumannya bisa dengan mudah menyembunyikan bebannya.” Kata Debora berderai air mata.

Aku pun cepat-cepat datang ke rumah sakit untuk melihat keadaannya. Aku telah berjanji akan selalu ada untuknya ketika ia butuhkan aku. Disana aku melihatnya terbaring lemah dengan wajah yang pucat pasi tak seperti biasanya manis dengan senyuman. Didampingi ibunya di sampingnya sembari mengusap-usap rambut Eliza dan menangis.
“Sudah 3 hari Eliza tidak sadarkan diri, saat turun panggung dan sampai ke rumah tiba-tiba ia pingsan. Dan ternyata kanker otaknya muncul kembali, kali ini hampir mencapai stadium akhir. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa mendoakannya semoga ada keajaiban datang.” Kata ibunya berderai air mata saat bercerita padaku.

Rupanya Eliza telah di vonis menderita kanker otak 2 tahun yang lalu. 3 bulan lalu adalah masa-masa terakhirnya menurut dokter. Apa ini yang Eliza takutkan ketika ia memelukku, ia takut tak bisa bertemu denganku lagi. Aku mendekati ranjang tempat ia berbaring.
Dan berbisik padanya.
“Eliza, ini aku.. Robin. Bangunlah , tunjukkan bahwa kau adalah seorang putri tidur yang hanya tidur sementara, dan hanya terbangun karena seorang pangeran membangunkanku.”
Ia tidak merespon apa-apa. Air mataku mulai jatuh sembari aku mengegenggam tangannya. Aku menangis di sampingnya. Tuhan, beri aku keajaiban…

Dan akhirnya terasa tangannya bergerak di genggamanku. Ia membuka matanya secara lemah, air matanya jatuh. Semua orang melihatnya termasuk ibunya.
“Hei pangeran tampan, mengapa kau menangis?” katanya sembari tersenyum.
“Eliza..kau bangun, kau tahu seberapa khawatirnya aku tak melihatmu selama 3 hari di kampus. Mengapa Eliza, kau tidak pernah beritahu aku soal keadaanmu??” tanyaku sambil terisak karena tangisan yang tak dapat ku tahan.
“Hehe, maaf kak. Mengenalmu terlalu indah daripada harus memikirkan soal penyakit ini. Kini kau tahu semuanya kan? Aku senang melihatmu, kau dapat memenuhi janjimu ketika aku butuhkanmu.” Katanya, walaupun ia tersenyum tetapi tetap saja air mata itu terus keluar.
“Eliza, aku ingin jujur padamu. Pada awalnya aku tak pernah sedekat ini dengan wanita. Aku tak pernah memilih seorang pacar seumur hidupku. Tapi sejak mengenalmu, kini aku juga mengenal apa itu arti cinta. Eliza, hari ini aku katakana padamu dengan disaksikan semua sahabatmu dan ibumu. Aku Mencintaimu, Eliza.” Kataku akhirnya jujur. Aku benar-benar lega bisa sampaikan perasaanku ini padanya.
“Kenapa kak? Kenapa kau baru jujur sekarang saat keadaanku seperti ini. Apa kau masih tidak mengerti mengapa aku mendekatimu? Itu karena aku telah lama menyukaimu sejak pertama aku melihatmu bermain biola. Kau seperti bermain untukku. Moment terindah dalam hidupku adalah ketika aku bernyanyi diiringi biolamu. Aku juga mencintaimu kakak.” Katanya dengan isakkan tangis.

Kali ini aku memeluk Eliza atas kejujurannya terhadapku, aku sangat bahagia. Aku lepaskan pelukanku dan aku mendaratkan kecupan di keningnya. Ia pun membalasnya.
“Kak, aku akan menunggumu di tempat terindah di atas langit. Kau akan melihatku bernyanyi dan bermain harpa disana. Untukmu kakak yang akan datang dengan alunan biola menyusulku nanti.” Katanya. Setelah itu ia memejamkan matanya dan menghembuskan nafas terakhir. Eliza Meloda Qweensha telah diambil Tuhan Yang Maha Kuasa.

Esok hari pun tiba. Hari itu adalah hari pemakaman Eliza. Akupun turut serta menghadiri acara pemakaman tersebut. Kekasihku meninggalkanku. Ia masih sangat belia, masih banyak cita-cita yang belum ia raih. Ia sudah menyusul ayahnya duluan. Mungkin dia sedang bermain music bersama ayahnya disana.
“Robin, …” ada suara yang memanggilku. Ternyata itu adalah Ms.Ema, ibunda Eliza.
“Ya, ibu?” jawabku menunggu apa yang selanjutnya akan ia katakan.
“Ada surat untukmu dari Eliza. Sebelum ia terbaring lemah di rumah sakit, ia menulis ini untukmu. Dan aku menemukannya di bawah bantalnya. Sekarang anggaplah aku seperti ibumu sendiri nak. Jangan sungkan terhadapku.” Katanya sembari tersenyum. Senyumnya hampir sama dengan Eliza.

Aku membuka amplop dan mengambil surat dari dalam amplop tersebut. Surat yang wangi. Wangi khas Eliza. Mungkin ia menyemprotkan parfumnya pada surat ini.
Akupun mulai membaca isinya.
“Dear, Robin
Hallo pangeran tampan. Maaf jika aku harus menyuruhmu membaca surat ini. Sebenarnya aku takut untuk menyampaikannya langsung padamu. Mungkin kau akan menjitak kepalaku atau mungkin kau akan mencubit pipiku saat kau kesal padaku. Tapi semua itu terasa manis dan akan selalu menjadi kenangan terindah dalam hidupku.
Lewat surat ini aku ingin menyampaikan isi hatiku padamu kak. Sejak awal ku berjumpa denganmu aku merasa ada yang beda. Cinta pertamaku jatuh padamu. Kau pernah berkata kau belum pernah berpacaran. Akupun sama denganmu. Hanya saja aku tak pernah mau mengatakannya. Sejak awal bertemu denganmu aku merasa yakin kau lelaki baik hati. Dari tingkahmu yang menghormati perempuan dan tutur bahasa yang sopan santun. Awal mula ku menyukaimu saat kau bermain biola. Entah mengapa rasanya pandangan ini tak bisa berpaling darimu. Hehe, aku heran mengapa perempuan secantik aku bisa menatapmu…Haha, maaf! Yang pasti kau telah berhasil merebut hati ini kak. Lelaki pertama yang aku cinta. Sebenarnya aku ingin sekali jujur padamu. Tapi berkaitan dengan penyakitku. Kau pasti akan tahu. Dokter telah memvonisku, katanya umurku takkan lama lagi. Hanya tinggal menghitung hari. Dari situ aku urungkan niatku untuk berkata padamu. Aku takut kau memiliki rasa yang sama denganku, aku takut kau menerima cintaku. Dan bila itu terjadi, akan sangat sedikit kenangan yang aku rasa setelah aku menjadi kekasihmu. Maka aku biarkan cintaku ini mengiringi hari-hariku tanpa kau tahu. Aku sedih saat aku harus bernyanyi di panggung kerajaan. Itu artinya semua kenangan aku bersamamu telah berakhir. Maka aku menangis sekeras-kerasnya dalam dekapanmu.
Saat aku tampil di panggung kerajaan aku melihatmu kak, kau mengenakan jas hitam. Tampan sekali. Dan aku yakin kau pasti tidak tahu lagu yang aku nyanyikan saat di panggung. Itu memang bukanlah lagu terkenal, melainkan lagu ciptaanku sendiri judulnya “Trecut am vedea fata ta, iubirea mea” aku tulis dalam bahasa Rumania yang artinya “Terakhir aku pandang wajahmu, cintaku”. Lagu itu aku ciptakan selama aku mengenalmu dan diharapkan kau dapat mengerti.
Terakhir aku ingin berpesan padamu kak, aku harap kau dapat meneruskan cita-citaku. Jadilah seorang maestro handal suatu hari nanti. Jadilah penerus Mozart, Beethoven dan semua pendiri music. Karena dengan music hidupmu akan menjadi lebih berwarna dan berirama. Ok kak !
Terimakasih kau telah menjadi orang yang selalu ada untukku. Selamat tinggal kakak. Kita akan berjumpa lagi suatu saat nanti memainkan alunan nada-nada surga…
From, Eliza Meloda Qweensha”

Itulah kenangan terakhir dari Eliza. Sampai saat ini suratnya masih tersimpan rapi dalam lemariku. Dan kini aku telah menjadi Maestro Biola seperti yang ia inginkan. Aku harap disana ia tersenyum manis menatapku. Eliza….

PROFIL PENULIS
Amalia E Febriani, nama panggilan Amell. Lahir di Bandung, 22 Februari 1995. Alamat Facebook Amaliaeronia@yahoo.co.id :) Thanks ^^

Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.

Ditulis Oleh : Unknown Hari: 8:19 PM Kategori:

0 comments:

Post a Comment