PUPUS
Cerpen Amalia Siregar
Berkali-kali Kinan memutar-mutar kepalanya, berharap ada sesuatu yang berubah dari ruang tamu yang minimalis namun menarik ini. Keempat sisi dindingnya sengaja dicat berbeda warna, merah, kuning, hijau dan biru, permainan warna yang nekat, tapi justru membuat cantik. Mata Kinan tertuju pada meja di sudut ruangan, ia mendekati meja itu, Kinan mengambil satu bingkai foto, terlihat seorang wanita dan seorang pria tersenyum lebar, kebahagiaan terpancar dari mata keduanya. Kinan tersenyum simpul, tapi tidak dengan hatinya, lalu meletakkan kembali foto yang sedari tadi diperhatikannya, lalu, ia menarik napas panjang dan menutup matanya sejenak. Mencari ketenangan hati, batinnya.
“Hei Dek, maaf. Nunggu lama, ya?”
Akhirnya, orang yang mengajak Kinan untuk datang ke rumahnya muncul juga, membawa sesuatu yang tanpa ditanya, Kinan sudah tahu kalau itu adalah undangan.
Akhirnya, orang yang mengajak Kinan untuk datang ke rumahnya muncul juga, membawa sesuatu yang tanpa ditanya, Kinan sudah tahu kalau itu adalah undangan.
“Ini nih, kan kamu alumni SMA Karya, aku minta tolong dong anterin undangan ini sama guru-guru di sana, sekalian ini juga ada undangan kosong terserah deh mau kamu tulis siapa, yang penting mereka kenal deket sama Rama, Rama lagi di luar kota, jadi enggak sempet,”
Kinan mengambil salah satu dari undangan-undangan yang disodorkan kepadanya. Menelusuri setiap sudut undangan itu, bermotif batik bewarna cokelat muda, tintanya bewarna emas, meninggalkan kesan elegan pada setiap pembacanya. Setelah puas melihat bagian depan, Kinan membuka halaman selanjutnya, masih bermotif batik tapi berwarna kuning tua dengan tinta berwarna perak. Nama RAMA WARDHANA dan LISA ARYUNINGRUM bersanding dengan eloknya. Ia tersenyum tipis, lalu, menutup undangan yang tadi dibukanya.
“Bagus Mbak Arum,” komentarnya. Orang yang dipanggil ‘Mbak Arum’ oleh Kinan, tersenyum riang, setelah mengucapkan terimakasih.
“Yaudah, ini aja, kan Mbak? Aku ada urusan nih, hehehe,” ujar Kinan berusaha semanis mungkin, padahal ia sudah tidak kuat lagi menahan sesuatu yang dari tadi ia tahan.
“Oh, gitu ya? Yaudah deh enggak papa, tapi kamu dateng lho, ya. Pasti Rama seneng liat murid kesayangannya dateng.”
Kinan tersenyum sangat tipis, terenyuh mendengar kata-kata yang dilontarkan wanita di depannya, ia merasa tersindir, tapi ia berusaha tetap dingin, seraya meninggalkan rumah Arum.
Kinan tersenyum sangat tipis, terenyuh mendengar kata-kata yang dilontarkan wanita di depannya, ia merasa tersindir, tapi ia berusaha tetap dingin, seraya meninggalkan rumah Arum.
Dalam perjalanan, air mata Kinan yang dari tadi ditahannya pecah dan mengalir deras. Kinan terus mengutuk dirinya, seandainya Arum tak menyapanya duluan, pasti Kinan tak akan pernah ke rumah Arum, dan seandainya Kinan tadi menolak ajakan Arum, pasti Kinan tak akan mendengar kabar yang paling tidak diingkannya.
***
“Lalalalala..” Kinan terus bersenandung dengan riangnya.
“Lalalalala..” Kinan terus bersenandung dengan riangnya.
“Hai teman-teman! Hari ini hari Selasa, dan hari ini adalah hari yang paling membahagiakan dalam seminggu!” ujarnya ketika ia masuk kelasnya, 11 Ipa 5.
Suasana kelas yang tadinya hening mendadak menjadi ramai, mencibir Kinan, pasalnya hari ini dari empat mata pelajaran, Matematika, Fisika, Kimia dan Seni Musik hanya Seni Musik yang tak membiarkan muridnya stres, karena ulangan Matematika, Fisika dan Kimia sudah cukup membuat anggota kelas 11 Ipa 5 teler. Dan sekarang, Kinan datang dan mengatakan bahwa hari ini adalah hari yang paling membahagiakan.
Kinan hanya tersenyum cuek, sambil mencari Dira, teman sebangkunya yang sedang duduk manis membaca buku.
Suasana kelas yang tadinya hening mendadak menjadi ramai, mencibir Kinan, pasalnya hari ini dari empat mata pelajaran, Matematika, Fisika, Kimia dan Seni Musik hanya Seni Musik yang tak membiarkan muridnya stres, karena ulangan Matematika, Fisika dan Kimia sudah cukup membuat anggota kelas 11 Ipa 5 teler. Dan sekarang, Kinan datang dan mengatakan bahwa hari ini adalah hari yang paling membahagiakan.
Kinan hanya tersenyum cuek, sambil mencari Dira, teman sebangkunya yang sedang duduk manis membaca buku.
“Hei,” Kinan menyolek tubuh Dira.
Dira yang dari tadi serius membaca buku, menoleh ke arah Kinan yang tersnyuum lebar.
Dira yang dari tadi serius membaca buku, menoleh ke arah Kinan yang tersnyuum lebar.
“Hari yang bahagia, kan?” tanya Kinan.
Dira tersenyum dingin, “Untukmu” lalu, Dira kembali memfokuskan pikiran kepada buku yang dibacanya.
Dira tersenyum dingin, “Untukmu” lalu, Dira kembali memfokuskan pikiran kepada buku yang dibacanya.
“Katanya, anak Ipa 5 hari ini pada ulangan, ya?” tiba-tiba guru kesenian, Pak Rama, bertanya kepada Kinan yang baru saja dari toilet.
“Oh, i.. iya Pak!” jawab Kinan gugup.
“Hmm, ya sudah, nanti kita nyantai aja,” ujar Pak Rama lagi.
“E.. emang mau ngapain, Pak?”
“Paling ntar aku Cuma ngasih contoh mainin gitar akustik, sudah ya, aku mau ngajar dulu.” seraya mengelus kepala Kinan lembut lalu, meninggalkannya Kinan yang hampir meleleh.
“Diraaaa!!!”
Kinan duduk di sebelah Dira, tersenyum lebar berharap Dira tahu sebabnya. Sebenarnya Dira tahu apa yang membuat teman sebangkunya seperti ini, tapi ia pura-pura tak tahu.
Kinan duduk di sebelah Dira, tersenyum lebar berharap Dira tahu sebabnya. Sebenarnya Dira tahu apa yang membuat teman sebangkunya seperti ini, tapi ia pura-pura tak tahu.
“Kenapa, sih? Berisik tau, gak?” kata Dira pura-pura ketus.
Seketika raut muka Kinan berubah, “Masak, enggak tau sih?”
Seketika raut muka Kinan berubah, “Masak, enggak tau sih?”
Dira tertawa melihat perubahan wajah Kinan, “Hahaha, ya tau lah, salting lagi?”
Kinan mengangguk-angguk, masih teteap tersenyum, “ Malah tadi tu Pak Rama parfumnya kecium banget, dan wangi banget, trus... hmmph!” Dira membungkam mulut Kinan.
Kinan mengangguk-angguk, masih teteap tersenyum, “ Malah tadi tu Pak Rama parfumnya kecium banget, dan wangi banget, trus... hmmph!” Dira membungkam mulut Kinan.
“Oke, ceritanya nanti, aku mau belajar dulu, mau ujian, nih.”
Setelah yakin, Kinan tak akan memulai lagi celotehannya, Dira menjauhkan telapak tangannya di mulut Kinan. Lagi-lagi ia tertawa melihat ekspresi Kinan yang sengaja memanyunkan bibirnya beberapa senti.
Kinan hanya bisa terbengong, melihat jari-jari lentik guru Seni Musiknya memetik senar –senar gitar dengan lembut. Sesekali, ia melirik wajah gurunya sambil tersenyum. Selalu saja, Kinan merasa aman dan merasa terlindungi jika melihat Pak Rama. Alunan musik yang begitu lembutnya, membuat Kinan berkali-kali menguap. Karena tak tahan menahan kantuk, akhirnya Kinan tertidur.
Setelah yakin, Kinan tak akan memulai lagi celotehannya, Dira menjauhkan telapak tangannya di mulut Kinan. Lagi-lagi ia tertawa melihat ekspresi Kinan yang sengaja memanyunkan bibirnya beberapa senti.
Kinan hanya bisa terbengong, melihat jari-jari lentik guru Seni Musiknya memetik senar –senar gitar dengan lembut. Sesekali, ia melirik wajah gurunya sambil tersenyum. Selalu saja, Kinan merasa aman dan merasa terlindungi jika melihat Pak Rama. Alunan musik yang begitu lembutnya, membuat Kinan berkali-kali menguap. Karena tak tahan menahan kantuk, akhirnya Kinan tertidur.
“Kinan..” seseorang menyentuh pundak Kinan lembut.
Namun Kinan tak mau terbangun, ia masih menikmati mimipinya indahnya saat Pak Rama memanggilnya dengan lembut.
Namun Kinan tak mau terbangun, ia masih menikmati mimipinya indahnya saat Pak Rama memanggilnya dengan lembut.
“Kinan..” kali ini suara lembut menjadi sedikit keras. Tapi, Kinan masih tak bergeming dari mimpinya yang lagi-lagi Pak Rama memanggilnya, tapi dengan suara sedikit keras.
“Kinaaaan!!!” jreng jreng jreeeng. Pak Rama menyerah membangunkan Kinan dengan suara, akhirnya mengambil gitarnya dan memainkannya tepat di telinga Kinan.
Kinan tersentak, ia melihat guru Seni Musiknya, ia mengira ia masih di dalam mimpi, Kinan segera mencubit pipinya sendiri, “Auuuuu!” erangnya.
Kinan tersentak, ia melihat guru Seni Musiknya, ia mengira ia masih di dalam mimpi, Kinan segera mencubit pipinya sendiri, “Auuuuu!” erangnya.
“Heh, kamu itu kenapa?” tanya Pak Rama menyadarkan Kinan.
“Aku, aku dimana?” tanya Kinan tanpa menjawab pertanyaan dari gurunya.
Pak Rama terlihat menahan tawa, “Kamu masih di Lab Musik. Tadi kamu ketiduran, trus temen-temenmu malah ninggalin kamu, lumayan deh ada yang nemenin aku,”
Pak Rama terlihat menahan tawa, “Kamu masih di Lab Musik. Tadi kamu ketiduran, trus temen-temenmu malah ninggalin kamu, lumayan deh ada yang nemenin aku,”
“Hah?!” Kinan terbengong dengan muka datar. Otaknya masih belum bisa mencerna kata-kata Pak Rama.
“Mukamu jelek banget sih kalo bangun tidur,” gumam Pak Rama.
“Hah?”
Pak Rama menggeleng sambil tersenyum geli melihat muridnya, “Ini, tisu basah. Lap tu mukamu,”
Pak Rama menggeleng sambil tersenyum geli melihat muridnya, “Ini, tisu basah. Lap tu mukamu,”
Tanpa ragu, Kinan menyambar tisu basah yang disodorkan. Lalu melap wajahnya, sambil berpikir apa yang ia lakukan sebelum tidur , tiba-tiba ia ingat sesuatu.
“Jadi, Dira ninggalin aku? ini, ini jam berapa, Pak? Wah mereka kok tega banget sama aku...” cerocos Kinan panik.
“Tenang, tenang, ini udah jam lima. Kamu pulang naik apa?” Pak Rama menenangkan Kinan.
Kinan yang telah kembali ke dalam kehidupannya, seketika kakinya lemas ditanyai sperti itu oleh Pak Rama.
Kinan yang telah kembali ke dalam kehidupannya, seketika kakinya lemas ditanyai sperti itu oleh Pak Rama.
“Aku, mau pulang sama Pak... eh, aku naik angkot, Pak,” jawabnya gugup. Dalam hati Kinan merutuk dirinya sendiri, selalu saja, pikirnya.
“Emang jam lima angkot masih ada? Aku anter aja, gimana? “
Kali ini bukan kakinya saja yang lemas, bahkan pikiran, gerakan dan mulutnya, sudah tak mampu ia gerakkan lagi.
Kali ini bukan kakinya saja yang lemas, bahkan pikiran, gerakan dan mulutnya, sudah tak mampu ia gerakkan lagi.
“Gimana?” Pak Rama mengulang pertanyaannya.
“Kalo enggak ngerepoti, Pak,” jawab Kinan manis.
“Ah, sok manis kamu,” gumam Pak Rama, sedangkan Kinan hanya nyengir, jantungnya berdetak seratus kali lipat dari biasanya.
Kinan menutup handphone-nya, ia baru saja menelpon Dira. Tadinya Kinan ingin memarahinya karena meninggalkan Kinan di Lab Musik sendirian, tapi ketika mendengar alasan Dira, agar Pak Rama dan Kinan bisa dekat, akhirnya Kinan malah berterimkasih pada Dira.
Kinan terngiang-ngiang kata-kata Dira ditelepon tadi, “Ya kamu jangan sampe terjerumus terlalu dalam, kamu tau kan, Pak Rama itu udah punya Mbak Arum.”
Kinan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kuat-kuat melalui mulutnya. “Mbak Arum” desahnya. Orang yang tiba-tiba datang ke sekolahnya, menjadi dokter tetap sekolah ,lalu, menjadi pacar guru termuda di sekolahnya, Pak Rama. Dada Kinan menjadi sesak setiap memikirkan nama Rama dan Arum, maka dengan segera ia membenamkan tubuhnya ke dalam selimut. Ia tak mau memikirkan tentang hubungan Pak Rama dengan Mbak Arum atau hubungan siapapun, yang ia tahu, hanya ia menyayangi satu orang, Pak Rama. Tak ada yang salah, hanya menyayangi, pikirnya.
Semakin hari, Kinan smakin dekat dengan Pak Rama, intensitas sering bertemu bukannya membuat penyakit salah tingkah Kinan menjadi membaik, malah membuat penyakitnya menjadi-jadi. Tapi, Kinan bahagia, sangat bahagia, seolah tak sadar bahwa ia hanya memiliki harapan semu.
Kinan terngiang-ngiang kata-kata Dira ditelepon tadi, “Ya kamu jangan sampe terjerumus terlalu dalam, kamu tau kan, Pak Rama itu udah punya Mbak Arum.”
Kinan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kuat-kuat melalui mulutnya. “Mbak Arum” desahnya. Orang yang tiba-tiba datang ke sekolahnya, menjadi dokter tetap sekolah ,lalu, menjadi pacar guru termuda di sekolahnya, Pak Rama. Dada Kinan menjadi sesak setiap memikirkan nama Rama dan Arum, maka dengan segera ia membenamkan tubuhnya ke dalam selimut. Ia tak mau memikirkan tentang hubungan Pak Rama dengan Mbak Arum atau hubungan siapapun, yang ia tahu, hanya ia menyayangi satu orang, Pak Rama. Tak ada yang salah, hanya menyayangi, pikirnya.
Semakin hari, Kinan smakin dekat dengan Pak Rama, intensitas sering bertemu bukannya membuat penyakit salah tingkah Kinan menjadi membaik, malah membuat penyakitnya menjadi-jadi. Tapi, Kinan bahagia, sangat bahagia, seolah tak sadar bahwa ia hanya memiliki harapan semu.
“Hai Mbak,” sapa Kinan ramah kepada Arum saat mereka sedang berpaspasan.
“Oh, hai, eh, kamu ternyata deket, ya sama Rama. Kok enggak bilang, sih? kan kita bisa jalan bareng, hahaha” cecer Arum entah apa maksudnya.
Tapi, mendengar ucapan barusan, cukup menyayat hati Kinan, ia seperti terbangun dari mimpi panjangnya. Kinan menjadi kaku, menjadi orang idiot, merasa dipermainkan oleh permainan yang ia buat sendiri.
Tapi, mendengar ucapan barusan, cukup menyayat hati Kinan, ia seperti terbangun dari mimpi panjangnya. Kinan menjadi kaku, menjadi orang idiot, merasa dipermainkan oleh permainan yang ia buat sendiri.
“Aku selalu ingetin kamu, hati-hati, Pak Rama itu udah punya...” Dira menahan kata-katanya, melirik sedikit ke arah Kinan yang sepertinya sibuk memikrkan sesuatu.
“Menurutmu, aku harus gimana? Menjauh?” tanya Kinan dengan nada serius.
Dira menatap lekat-lekat teman baiknya, ia melihat di sudut mata Kinan menyimpan sesuatu yang sangat mendalam, sesuatu yang tak baik jika dipendam, tapi sesuatu yang bisa membunuh paerasaan orang seketika. Dira menarik Kinan ke pelukannya. Seketika, pundak Dira basah karena air mata.
Dira menatap lekat-lekat teman baiknya, ia melihat di sudut mata Kinan menyimpan sesuatu yang sangat mendalam, sesuatu yang tak baik jika dipendam, tapi sesuatu yang bisa membunuh paerasaan orang seketika. Dira menarik Kinan ke pelukannya. Seketika, pundak Dira basah karena air mata.
“Aku enggak bisa Ra, aku enggak bisa jauh dari dia. Harapanku terlalu besar buat sama dia.”
Dira hanya bisa mendengar rintihan hati Kinan, sambil sesekali mengelus pundak Kinan.
Sejak itu, Kinan terus berusaha menjauh dari Pak Rama, ia mengabaikan SMS rutin Pak Rama yang bisanya selalu ia tunggu-tunggu. Namun, semakin ia brusaha menjauh maka semakin besar pulalah perasaannya pada Pak Rama. Ia selalu merasa Pak Rama juga membutuhkannya, ia tak tahu permainan apalagi dan ia mengikutinya lagi. Dalam waktu tak sampai sebulan, Pak Rama dan Kinan menjadi dekat kembali.
Tapi, saat Kinan ‘terbangun’ kembali, maka, Kinan akan berusaha untuk menjauh lagi namun yang terjadi bisa ditebak, Kinan mengikuti permainan yang mempermainkannya lagi, dan begitu seterusnya. Sampai akhirnya, impian Kinan tercapai, ia memiliki Pak Rama, tapi tak sepenuhnya, ia menjadi ‘selingkuhan’ bagi Pak Rama.
Dan hubungan mereka terus berlanjut sampai Kinan berada di penghujung ia menuntul ilmu di SMA Karya. Perbincangan serius pun terjadi antara Pak Rama dan Kania.
Dira hanya bisa mendengar rintihan hati Kinan, sambil sesekali mengelus pundak Kinan.
Sejak itu, Kinan terus berusaha menjauh dari Pak Rama, ia mengabaikan SMS rutin Pak Rama yang bisanya selalu ia tunggu-tunggu. Namun, semakin ia brusaha menjauh maka semakin besar pulalah perasaannya pada Pak Rama. Ia selalu merasa Pak Rama juga membutuhkannya, ia tak tahu permainan apalagi dan ia mengikutinya lagi. Dalam waktu tak sampai sebulan, Pak Rama dan Kinan menjadi dekat kembali.
Tapi, saat Kinan ‘terbangun’ kembali, maka, Kinan akan berusaha untuk menjauh lagi namun yang terjadi bisa ditebak, Kinan mengikuti permainan yang mempermainkannya lagi, dan begitu seterusnya. Sampai akhirnya, impian Kinan tercapai, ia memiliki Pak Rama, tapi tak sepenuhnya, ia menjadi ‘selingkuhan’ bagi Pak Rama.
Dan hubungan mereka terus berlanjut sampai Kinan berada di penghujung ia menuntul ilmu di SMA Karya. Perbincangan serius pun terjadi antara Pak Rama dan Kania.
“Kinan, kamu udah enggak ada di SMA sini lagi, jadi aku rasa, kita udahan aja..”
Kinan tersentak mendengar kata-kata dari Pak Rama.
Kinan tersentak mendengar kata-kata dari Pak Rama.
“Maksudnya?” ucapnya penuh tanya.
“Sebelumnya aku minta maaf, tapi, sebenernya aku tahu, kamu suka sama aku, dan aku tau seberapa kerasnya usaha kamu buat lupa sama aku. Aku kira, kalo kamu jadi pacarku aku bisa buat perasaan kamu ke aku jadi enggak sia-sia, aku Cuma pengen kamu bahagia, aku....”
“Jadi, selama ini kamu enggak bener-bener sayang sama aku?” potong Kinan.
“Maaf Ni, aku enggak sanggup buat Arum sakit hati. Ini juga atas persetujuannya Arum, Lagi pula, umur kita terlalu jauh, 8 tahun. Aku yakin kamu bisa dapet yang lebih baik dari aku.” ujar Pak Rama tegas, sambil berlalu dari hadapan Kinan.
Kinan menunduk pasrah, bulir-bulir air mata membasahi pipinya, Kinan tak berniat menghapusnya, dibiarkannya air matanya jatuh ke bumi.
Kinan menunduk pasrah, bulir-bulir air mata membasahi pipinya, Kinan tak berniat menghapusnya, dibiarkannya air matanya jatuh ke bumi.
***
Kinan melihat undangan yang dibawanya, ya, enggak salah lagi, ini alamatnya. Setelah mengumpulkan kekuatan, Kania pun menyungginkan senyum termanisnya, lalu, masuk ke dalam gedung. Dilihatnya suasana gedung yang megah, sejauh mata memandang ia hanya melihat warna cokelat dan putih. Ia berjinjit mencari-cari sepasang suami-istri yang berpakaian adat-harusnya- nah, itu dia. Kinan menarik napasnya lagi, saat jarak ia dan tempat Rama dan Arum hanya beberapa meter lagi. Kinan menghentikan langkahnya, memperhatikan pasangan yang sedang berbahagia itu. Sebulir air mata Kinan menetes, dengan segera ia segera menghapusnya, dan berjalan menuju keluar gedung, menghindari banyaknya air mata yang akan menetes. Ternyata, aku memang tidak bisa lupa padanya.
THE END
Kinan melihat undangan yang dibawanya, ya, enggak salah lagi, ini alamatnya. Setelah mengumpulkan kekuatan, Kania pun menyungginkan senyum termanisnya, lalu, masuk ke dalam gedung. Dilihatnya suasana gedung yang megah, sejauh mata memandang ia hanya melihat warna cokelat dan putih. Ia berjinjit mencari-cari sepasang suami-istri yang berpakaian adat-harusnya- nah, itu dia. Kinan menarik napasnya lagi, saat jarak ia dan tempat Rama dan Arum hanya beberapa meter lagi. Kinan menghentikan langkahnya, memperhatikan pasangan yang sedang berbahagia itu. Sebulir air mata Kinan menetes, dengan segera ia segera menghapusnya, dan berjalan menuju keluar gedung, menghindari banyaknya air mata yang akan menetes. Ternyata, aku memang tidak bisa lupa padanya.
THE END
Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment