PAK MENTRI
Oleh Bahri Ahmad
Pada umumnya teman-teman kami suka sekali mengkoleksi barang unik, aneh, atau kuno. Tapi ada juga teman-teman kami yang suka mengumpulkan photo-photo artis, bahkan ada juga yang suka mengumpulkan alamat para artis. Entah kenapa, apa yang mereka inginkan dengan semua itu, tapi beda halnya dengan Musthafa jika teman-teman kami suka mengumpulkan alamat para artis tapi bagi Musthafa ia malah lebih tertarik dengan mengumpulkan alamat para mentri-mentri di negri kami.
Keinginannya itu bermula sejak ia bertemu dengan mentri pendidikan dan budaya, ketika ada sebuah acara dikampus kami yang kebetulan Pak Mentrilah sebagai pembicaranya, dan disana Pak Mentri disambut dengan amat baik. Semua dosen-dosen kami pun hadir, padahal kalau setiap ada mata kuliah umum para dosen-dosen kami jarang ada yang hadir. Tapi entah mengapa kali ini semua hadir tak satupun dosen yang tidak hadir, mungkin disebabkan pembicaranya adalah seorang Mentri, jadi para dosen kami semangat untuk menghadiri mata kuliah umum. Hal itulah yang membuat teman kami Musthafa tertarik dengan makhluk yang namanya Mentri.
‘Begitu hebohnya Mentri dimata para dosen dan para teman-teman, sehingga ia harus dihormat dan disegani, seolah-olah Pak Mentri itu mempunyai daya tarik yang luar biasa atau mempunyai kelebihan yang luar biasa, sehingga setiap kata-kata Pak Mentri pun selalu diingat oleh para mahasiswa dan para dosen, sehingga sediki-dikit “ Kata pak mentri”, padahal Kalamullah saja mereka jarang mengiingatnya dan menyampaikannya.’ Tutur Musthafa.
Setelah ia datang dan dapat sebulan ia berada di ibukota untuk menemui para menteri, aku pun berniat untuk bersilaturrahim kerumahnya sekalian bertanya tentang hasil nekadnya untuk menemui Bapak Mentri. Apalagi kabar burungnya temanku itu sudah malas untuk melanjutkan kegemarannya yang aneh itu, yakni mengumpulkan alamat para mentri semenjak ia pulang dari ibu kota. Dan yang yang membuatku penasaran lagi, ia berubah sembilan puluh derajat dari sebelumnya, yang biasanya ia suka nongkrong di warung, main-main kerumah teman dan keluyuran, semenjak dari dari ibu kota, ia seakan-akan telah mendapat hidayah dari Tuhan, ia sekarang malah lebih sering kemasjid, hari-harinya ia gunakan untuk beri’tikaf, ngaji dan shalat dimasjid, ia berubah menjadi sangat regius sekali.
Aku pun mencoba menemui temanku itu dimasjid, karena kata pembantunya yang ada dirumah, Musthafa sudah kemasjid sejak tadi subuh dan belum kembali, dan ternyata memang betul ia berada di masjid, dan ia sedang melakukan shalat Dhuha. Aku pun duduk di serambi masjid untuk menunggunya menyelesaikan shalatnya, setelah ia salam dan dzikir sebentar akhirnya ia menemuiku dan berbincang-bincang denganku.
“Eh, Kang Bahri. Gimana kabarnya kang?” Tegur Musthafa yang berjalan mendekatiku.
“Alhamdulillah baik kang. Bagaimana kabarnya Kang Mus? Oia, Semenjak sampean dari ibu kota kok jarang kelihatan, bahkan kata-katanya sampean sudah menghentikan kegemaran sampean yang ngumpulin alamat para Mentri itu ya?” Ucapku sambil memasukkan ponselku ke saku.
“Ooo, iya sih aku sekarang jadi malas ngumpulin alamat-alamat Mentri, yang tadinya ingin aku kunjungi satu persatu. Dikarenakan aku capek, masak mau ketemu aja persyaratanya harus begini dan harus begitu, ribet banget hanya untuk bertemu seorang Mentri saja.” Tegasnya.
“Mang ribet ya ketemu Mentri itu?” Tanyaku kembali.
“Wah ribet banget, aku itu sebulan disana baru ketemu sama satu Mentri saja, itu pun cuman sebentar sekali.” Jawab Musthafa.
Aku pun bergeleng-geleng keheranan, lalu Musthafa melanjutkan ceritanya.
Setelah aku berhasil mengumpulkan beberapa alamat rumahnya Bapak Mentri, aku pun mencoba untuk mendatangi rumahnya dengan niat bersilaturrahim kepadanya satu persatu. awalnya aku sempat bingung ini Mentri yang mana dulu yang harus aku temui pertama kali, akhirnya aku memutuskan untuk menemui Mentri Agama, karna aku yakin namanya Mentri Agam itu pasti taulah dengan apa yang namanya silaturrahim itu, dan pasti aku diterimanya dengan baik. Pikirku saat itu.
Setelah aku menemukan alamat rumahnya yang besar dan mewah itu, aku terhenti di depan gerbang rumah Pak Mentri Agama yang besar itu, “ini ada orangnya atau tidak ya? Kok selalu ditutup” pikirku dalam hati.
“Coba kamu pencet saja bel yang ada di tembok itu dik, kalau kamu teriak-teriak mah kagak bakalan kedengeran.” Seru seorang ibu yang sedang membawa anaknya jalan-jalan.
Aku pun berulang-ulang memencet bel yang berada ditembok samping pagar tersebut, tiba-tiba pintunya terbuka dan muncul seorang perempuan yang sedang membawa sapu.
“Eh, kamu jangan mainan bel donk, mang dirumahmu tidak ada bel ya?” Cetus perempuan itu, sambil menodongkan sapunya ke hadapanku.
“Bukan itu maksudku bu, aku kesini ingin bertemu dengan Bapak Mentri, kira-kira ada gak ya beliau dirumah?” Tanyaku dengan nada ketakutan.
“Memang ada kepentingan apa kamu dengan Bapak Mentri?” Tanyanya dengan nada serius.
“Aku cuman ingin bersilaturrahim saja sama beliau.” Jawabku.
“Apaan tu silaturrahim? Kalau kamu ingin bertemu sama beliau ya besok saja, kamu pergi sana ke kantornya jangan disini, beliau ini lagi istirahat and gak bisa diganggu gugat.” Jawabnya sambil menutup gerbang dengan keras.
Keesokan harinya aku pun mendatangi kantor Pak Mentri agama, sebelum aku masuk ke pintu masuk kantor, aku dihadang oleh dua bodytguard yang berbadan besar, memakai baju seragam berwarna hitam, berkaca mata hitam, dan berkulit hitam, yang satu botak dan yang satu lagi gondrong. Mereka menghalangi jalanku secara tiba-tiba, dengan wajah yang seram dan nada yang keras salah satu dari mereka menegurku.
“Eh, kau anak muda mau kamana kamu?” Tegur salah satu bodyguard tadi.
Aku pun menjawab dengan tenang dan santai, walaupun sebenarnya aku ketakutan atas bentakannya barusan. “Mau masuk Pak, hendak bertemu dengan Pak Mentri.”
“Kalau kamu ingin masuk dan bertemu Pak Mentri kamu harus mengisi Folmulir kedatangan dulu, yang berada di atas meja sana.” Himbaunya, sambil menunjuk meja kecil yang berada dibelakang pintu masuk.
Aku pun masuk dan mengambil Folmulir yang ada diatas meja tersebut, sesuai dengan apa yang dihimbaukan oleh Pak Bodyguard tadi. Diformulir itu aku isi dengan apa adanya, sesuai dengan identitasku. Setelah aku mengisinya dengan lengkap, aku pun memberikannya ke salah satu pegawai yang ada dimeja information, setelah ia membaca formulir yang telah aku isi tadi, ia pun langsung menegurku.
“Eh, maksud kamu apa, pekerjaan kok kamu isi dengan pengangguran? Kalau Pak Mentri menemui orang kayak kamu dan meladeni semua orang pengangguran seperti kamu ini, ya negara kita ini bakalan kacau, Pak Mentri kok ngurus orang pengangguran, sedangkan tugasnya Mentri saja masih banyak yang belum kelar.” Tegas pegawai itu.
Aku pun menyerah dengan kata-kata pegawai itu barusan, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke penginapanku untuk mencari strategi baru agar bisa menemui Pak Mentri. Keesokan harinya aku kembali ke kantor Pak Mentri lagi, tapi dengan menggati pekerjaanku yang asalnya pengangguran menjadi Swasta. Malamnya aku menelpon temanku dikampung, dan aku minta saran temanku itu, dan ia menyarankan agar aku mengisi formulir itu dengan Swasta bukan pengangguran. Dan setelah aku isi lengkap formulir kedatangan itu, aku serahkan lagi ke pegawai yang ada disana, sebut saja Pak Sujiwo, setelah ia melihat formulirku ia pun menegurku lagi.
“Eh nak, disini keperluan, kok kamu isi dengan silaturrahim? Kalau kamu itu ingin silaturrahim dengan Pak Mentri bukan disini tempatnya, tapi dirumahnya. Kalau disini itu tempatnya kerja bukan buat silaturrahim.” Tutur pegawai itu.
“Tapi pak aku kemaren sudah datang kerumahnya, tapi aku disuruh menemui Pak Mentri dikantornya bukan dirumahnya.” Jawabku.
“Tetap gak boleh, kalau ingin silaturrahim ya dirumahnya sana bukan disini, disini itu khusus untuk bekerja dan mengurus negara indonesia, paham!” Tegas Pak sujiwo, dengan nada kesal.
Kali ini aku harus angkat kaki dulu, untuk mendapatkan strategi jitu supaya bisa bertemu dengan Pak Mentri. Keesokan harinya aku pun kembali dengan membawa alasan baru, setelah aku mengisi Formulir dan aku serahkan ke Pak Sujiwo, lagi-lagi ia menegurku.
“Memangnya kamu ada hubungan Family apa dengan Pak Mentri? Kok kamu mengganti alasan keperluan kamu dengan urusan keluarga.” Tanya pak sujiwo.
“Ya, kalau diurut-urut dari Nabi Adam sih, masih ada hubungan keluarga Pak.” Jawabku tenang sambil tersenyum dan menggaruk-garuk kepalaku.
“Ooo, dasar pulang sana!” Bentak Pak Sujiwo, dengan nada kesal.
Aku pun mencoba menemui temanku itu dimasjid, karena kata pembantunya yang ada dirumah, Musthafa sudah kemasjid sejak tadi subuh dan belum kembali, dan ternyata memang betul ia berada di masjid, dan ia sedang melakukan shalat Dhuha. Aku pun duduk di serambi masjid untuk menunggunya menyelesaikan shalatnya, setelah ia salam dan dzikir sebentar akhirnya ia menemuiku dan berbincang-bincang denganku.
“Eh, Kang Bahri. Gimana kabarnya kang?” Tegur Musthafa yang berjalan mendekatiku.
“Alhamdulillah baik kang. Bagaimana kabarnya Kang Mus? Oia, Semenjak sampean dari ibu kota kok jarang kelihatan, bahkan kata-katanya sampean sudah menghentikan kegemaran sampean yang ngumpulin alamat para Mentri itu ya?” Ucapku sambil memasukkan ponselku ke saku.
“Ooo, iya sih aku sekarang jadi malas ngumpulin alamat-alamat Mentri, yang tadinya ingin aku kunjungi satu persatu. Dikarenakan aku capek, masak mau ketemu aja persyaratanya harus begini dan harus begitu, ribet banget hanya untuk bertemu seorang Mentri saja.” Tegasnya.
“Mang ribet ya ketemu Mentri itu?” Tanyaku kembali.
“Wah ribet banget, aku itu sebulan disana baru ketemu sama satu Mentri saja, itu pun cuman sebentar sekali.” Jawab Musthafa.
Aku pun bergeleng-geleng keheranan, lalu Musthafa melanjutkan ceritanya.
Setelah aku berhasil mengumpulkan beberapa alamat rumahnya Bapak Mentri, aku pun mencoba untuk mendatangi rumahnya dengan niat bersilaturrahim kepadanya satu persatu. awalnya aku sempat bingung ini Mentri yang mana dulu yang harus aku temui pertama kali, akhirnya aku memutuskan untuk menemui Mentri Agama, karna aku yakin namanya Mentri Agam itu pasti taulah dengan apa yang namanya silaturrahim itu, dan pasti aku diterimanya dengan baik. Pikirku saat itu.
Setelah aku menemukan alamat rumahnya yang besar dan mewah itu, aku terhenti di depan gerbang rumah Pak Mentri Agama yang besar itu, “ini ada orangnya atau tidak ya? Kok selalu ditutup” pikirku dalam hati.
“Coba kamu pencet saja bel yang ada di tembok itu dik, kalau kamu teriak-teriak mah kagak bakalan kedengeran.” Seru seorang ibu yang sedang membawa anaknya jalan-jalan.
Aku pun berulang-ulang memencet bel yang berada ditembok samping pagar tersebut, tiba-tiba pintunya terbuka dan muncul seorang perempuan yang sedang membawa sapu.
“Eh, kamu jangan mainan bel donk, mang dirumahmu tidak ada bel ya?” Cetus perempuan itu, sambil menodongkan sapunya ke hadapanku.
“Bukan itu maksudku bu, aku kesini ingin bertemu dengan Bapak Mentri, kira-kira ada gak ya beliau dirumah?” Tanyaku dengan nada ketakutan.
“Memang ada kepentingan apa kamu dengan Bapak Mentri?” Tanyanya dengan nada serius.
“Aku cuman ingin bersilaturrahim saja sama beliau.” Jawabku.
“Apaan tu silaturrahim? Kalau kamu ingin bertemu sama beliau ya besok saja, kamu pergi sana ke kantornya jangan disini, beliau ini lagi istirahat and gak bisa diganggu gugat.” Jawabnya sambil menutup gerbang dengan keras.
Keesokan harinya aku pun mendatangi kantor Pak Mentri agama, sebelum aku masuk ke pintu masuk kantor, aku dihadang oleh dua bodytguard yang berbadan besar, memakai baju seragam berwarna hitam, berkaca mata hitam, dan berkulit hitam, yang satu botak dan yang satu lagi gondrong. Mereka menghalangi jalanku secara tiba-tiba, dengan wajah yang seram dan nada yang keras salah satu dari mereka menegurku.
“Eh, kau anak muda mau kamana kamu?” Tegur salah satu bodyguard tadi.
Aku pun menjawab dengan tenang dan santai, walaupun sebenarnya aku ketakutan atas bentakannya barusan. “Mau masuk Pak, hendak bertemu dengan Pak Mentri.”
“Kalau kamu ingin masuk dan bertemu Pak Mentri kamu harus mengisi Folmulir kedatangan dulu, yang berada di atas meja sana.” Himbaunya, sambil menunjuk meja kecil yang berada dibelakang pintu masuk.
Aku pun masuk dan mengambil Folmulir yang ada diatas meja tersebut, sesuai dengan apa yang dihimbaukan oleh Pak Bodyguard tadi. Diformulir itu aku isi dengan apa adanya, sesuai dengan identitasku. Setelah aku mengisinya dengan lengkap, aku pun memberikannya ke salah satu pegawai yang ada dimeja information, setelah ia membaca formulir yang telah aku isi tadi, ia pun langsung menegurku.
“Eh, maksud kamu apa, pekerjaan kok kamu isi dengan pengangguran? Kalau Pak Mentri menemui orang kayak kamu dan meladeni semua orang pengangguran seperti kamu ini, ya negara kita ini bakalan kacau, Pak Mentri kok ngurus orang pengangguran, sedangkan tugasnya Mentri saja masih banyak yang belum kelar.” Tegas pegawai itu.
Aku pun menyerah dengan kata-kata pegawai itu barusan, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke penginapanku untuk mencari strategi baru agar bisa menemui Pak Mentri. Keesokan harinya aku kembali ke kantor Pak Mentri lagi, tapi dengan menggati pekerjaanku yang asalnya pengangguran menjadi Swasta. Malamnya aku menelpon temanku dikampung, dan aku minta saran temanku itu, dan ia menyarankan agar aku mengisi formulir itu dengan Swasta bukan pengangguran. Dan setelah aku isi lengkap formulir kedatangan itu, aku serahkan lagi ke pegawai yang ada disana, sebut saja Pak Sujiwo, setelah ia melihat formulirku ia pun menegurku lagi.
“Eh nak, disini keperluan, kok kamu isi dengan silaturrahim? Kalau kamu itu ingin silaturrahim dengan Pak Mentri bukan disini tempatnya, tapi dirumahnya. Kalau disini itu tempatnya kerja bukan buat silaturrahim.” Tutur pegawai itu.
“Tapi pak aku kemaren sudah datang kerumahnya, tapi aku disuruh menemui Pak Mentri dikantornya bukan dirumahnya.” Jawabku.
“Tetap gak boleh, kalau ingin silaturrahim ya dirumahnya sana bukan disini, disini itu khusus untuk bekerja dan mengurus negara indonesia, paham!” Tegas Pak sujiwo, dengan nada kesal.
Kali ini aku harus angkat kaki dulu, untuk mendapatkan strategi jitu supaya bisa bertemu dengan Pak Mentri. Keesokan harinya aku pun kembali dengan membawa alasan baru, setelah aku mengisi Formulir dan aku serahkan ke Pak Sujiwo, lagi-lagi ia menegurku.
“Memangnya kamu ada hubungan Family apa dengan Pak Mentri? Kok kamu mengganti alasan keperluan kamu dengan urusan keluarga.” Tanya pak sujiwo.
“Ya, kalau diurut-urut dari Nabi Adam sih, masih ada hubungan keluarga Pak.” Jawabku tenang sambil tersenyum dan menggaruk-garuk kepalaku.
“Ooo, dasar pulang sana!” Bentak Pak Sujiwo, dengan nada kesal.
Kali ini aku harus angkat tangan, dan kembali kepenginapanku. Tapi semua itu tak membuatku jerah, setiap hari aku selalu pergi kekantor dengan alasan yang berbeda-beda, dan sayangnya aku selalu ditolak. Ketika aku sudah sebulan lebih di ibu kota dan tiga puluh kali aku mendatangi kantor Pak Mentri Agama, akhirnya aku diperbolehkan menemui Pak Mentri, dengan alasan jitu terakhirku. Setelah aku mengisi Formulir, seperti biasa aku kasih ke Pak Sujiwo.
“Keperluan menyampaikan amanat, ini amanat apaan ini?” tanya Pak Sujiwo.
“Yaelah, yang namanya amanat itu tidak boleh dikasih tahukan ke orang lain pak. Kalau saya kasih tahu ke bapak berarti bukan amanat lagi namanya.” Jawabku dengan tenang dan tegas.
Akhirnya Pak Sujiwo menandatangani Formulir itu, dan akan membawanya ke ruang kerjanya Pak Mentri, tapi sebelum ia pergi ke ruangan Pak Mentri, ia memberiku lembaran kertas yang bertulis, “TIGA MENIT SAJA”, dan digaris bawahi dengan tinta berwarna merah.
“Wah, ini aku diberi izin menemui Pak Mentri, kok, masih dibatasi waktu ya? Diperbolehkannya aku ini, apa karena alasanku yang membuatnya keok atau dia sudah muak melihatku yang datang setiap hari dan membuat ia kesal.” Pikirku dalam hati.
Akhirnya aku pun di perbolehkan untuk masuk ruang kerjanya Pak Metri, ketika aku masuk ruangannya, udara terasa sejuk tidak seperti diluar yang membaut bajuku terbasahi oleh keringat, disitu aku melihat jas bagus yang tergantung didinding, ku lihat tiga gelas cantik yang berisi air yang berbeda warna, Pak Mentri pun duduk di atas kursi yang besar dengan tempat bersandar yang tinggi.
“Ada keperluar apa nak?” Tanya Pak Mentri dengan santai sambil menggoyang-goyangkan kursinya yang besar itu.
“Ini pak mau menyapaikan amanat dari teman-teman saya dikampung.” Jawabku dengan penuh sopan santun.
“Oia, aku tadi sudah diberi tahu oleh Pak Sujiwo, memangnya amanat apa nak?” Tanyanya mulai serius.
“Ini pak, aku cuman mau menyampaikan salam dari teman-temanku dikampung.” Jelasku sambil tersenyum.
“Terus apa lagi?” Tanya Pak Mentri lagi.
“Cuman itu Pak, gak ada yang lain lagi.” Jawabku.
“Cuman itu saja, Ooo, ya sudah kalau begitu, salam balikku kepada teman-temanmu disana ya.” Tegas beliau sambil kebingungan.
“Terus setelah itu apa yang sampean lakukan kang?” Tanyaku kepada Kang Musthafa.
“Ya, akhirnya aku pun pulang dengan rasa agak kesal. Masak pingin bertemu Pak Mentri Agama saja susahnya minta ampun, dan membutuhkan waktu sebulan dengan berbagai alasan untuk bisa menemuinya. Wong, kita saja pingin bertemu Tuhan, yang mana tuhan itu atasanya para atasan, presidenya presiden, penguasa alam raya, kita saja bisa lima kali sehari bahkan kapanpun kita mau dan tanpa adanya kesusahan sedikitpun, kita bisa menemuinya semau kita.” Tutur Kang Musthafa.
Aku pun dapat pengalaman yang sangat luar biasa dari Kang Musthafa ini, dengan pengalamanya yang luar biasa itu, aku pun jadi ikut tersentuh dengan tekad dan perjuangannya. Aku sadar, memang kita ini tidak bersyukur dengan kemurahan tuhan yang belum kita sadari itu, yakni diberi kenikmatan berupa kemudahan untuk bisa menghadap bertemu Allah sang Maha Pencipta dengan mudah tanpa adanya batasan waktu. Bahkan di waktu tengah malam pun kita bisa menghadap dengannya, sampai Malaikat Rahmat pun selalu mengundang kita untuk bertemu dengan tuhan, cuman kitanya sendiri yang tidak kedengaran, karena kita diwaktu itu tertidur pulas.
Baca juga Cerpen Motivasi yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment