SEPASANG MATA MAWAR
Oleh Idham Padmaya Mahatma
“Satu...dua...tiga...!” teriakku memberikan kode untuk memotret.
“Maaf...maaf, Tuan.”
Kau yang tak sengaja lewat di depan kami, masuk secara utuh ke dalam bingkai kamera. Aku sebenarnya tak melihatmu, tak juga memperhatikan.
“Tidak apa, Nona,” balasku sambil memberikan senyuman.
“Sekali lagi maaf, Tuan.”
Dia berlalu. Tak sengaja, dia meninggalkan sesuatu padaku. Potret wajahnya. Ya. Parasnya tertinggal di rol kamera ini. Beserta lekuk senyuman yang membuat mata tak lagi bisa beralih. Senja di jalanan sempit ini memberikan secuil peristiwa. Di bawah gerimis, aku menemukan ronamu. Hatiku berkata, “Kau cantik, Nona.”
***
“Satu...dua...tiga...!” teriakku memberikan kode untuk memotret.
“Maaf...maaf, Tuan.”
Kau yang tak sengaja lewat di depan kami, masuk secara utuh ke dalam bingkai kamera. Aku sebenarnya tak melihatmu, tak juga memperhatikan.
“Tidak apa, Nona,” balasku sambil memberikan senyuman.
“Sekali lagi maaf, Tuan.”
Dia berlalu. Tak sengaja, dia meninggalkan sesuatu padaku. Potret wajahnya. Ya. Parasnya tertinggal di rol kamera ini. Beserta lekuk senyuman yang membuat mata tak lagi bisa beralih. Senja di jalanan sempit ini memberikan secuil peristiwa. Di bawah gerimis, aku menemukan ronamu. Hatiku berkata, “Kau cantik, Nona.”
***
Dalam perjalanan pulang, aku menaruh pikir. Anganku memilih membayangkan wajahnya. Entah, aku merasa ada yang berbeda darinya.
Tak mau terus-menerus berilusi, aku lantas mencetak rona itu ke dalam wujud dua dimensi. Ya. Di kertas foto ini kini terpatri lekuk-lekuk sempurnanya. Natural. Sebab saat dipotret, dia tak menunjukkan ekspresi yang dibuat-buat. Aku suka.
“Meski aku tak mengenalmu, yakinku kita akan bersatu...” harapku, yang diam-diam membisikkan ke dunia.
***
“Maaf, mau dipotong model apa, Tuan?”
“E...e...dipotong rapi saja tapi bagian depan tolong dipertahankan,” jawabku sembari menjelaskan.
Barangkali kita memang berjodoh. Ketika aku berkunjung ke sebuah salon, kau yang menyambutku. Melayani pula. Di perjumpaan kedua, akulah yang memberanikan diri berkata. Kutanya siapa namanya. Di mana dia tinggal. Hingga simfoni berlagu, dia bercerita hingga ke kehidupan keluarganya.
“Mawar. Tinggal di kompleks 78, Kota Baru”
“Anak pertama dari keluarga bahagia. Pantas saja parasnya selalu memantik ceria. Tak salah aku mengaguminya. Tuhan, aku terpikat oleh makhlukmu ini. Tolong senantiasa pertemukan kami,” doaku seraya menutup segala deskripsi.
***
“Apa benar ini tempat Dhani bekerja? Maaf, bisa bertemu dengannya?”
“Sebentar. Saya panggilkan...” jawab asistenku pelan.
Mawar bersambang ke studioku. Aku yang masih asyik mencari angle terbaik untuk foto-foto ini sama sekali tak menghiraunya.
Terkejut. Aku terkejut ketika melihatnya berdiri di belakangku.
“Mawar? Sedang apa kau di sini?” tanyaku padanya.
“Ini. Ini punyamu. Tertinggal saat kau tergesa keluar dari salon karena panggilan telepon,” jawabmu perlahan.
Mawar mengembalikan sarung kepalaku yang tersandar rapi di tempat aku memotong rambut tadi. Kubawa dia ke depan latar studio foto. Tak kusiakan kesempatan ini untuk memotretnya. Yang kedua. Lalu ketiga. Kemudian keempat dan seterusnya.
Rasanya telah berlembar-lembar foto tercetak rautnya. Di ruangan gelap tempat pencetakan, aku selalu tersenyum sendirian. Entahlah, sepertinya tak ada yang lucu. Mungkin bersebab hati ini bahagia karenamu.
***
Kuajak kau menyusuri lembar kehidupanku. Aku yang bekerja sebagai fotografer tetapi menggemari balapan motor mengajakmu menemaniku ke lintasan balap.
“Dengan motor ini kau biasa balapan, Dhan?” sanggahmu bertanya.
“Bukan,” singkatku sambil menebar tawa.
Sengaja aku tak membawa motor balapku seperti biasa. Namun, menaiki motor yang kau bisa memapah memeluk punggungku. Motor-matic untuk kita balapan sendiri. Tak ada yang menang. Tak ada pula yang tertunduk kalah. Sebab, ini bukan permainan. Hanya kesenangan yang ingin selalu kubagi denganmu. Semoga kau lebih mengerti aku. Terlebih lagi mencintaiku.
***
Hari-hari berikutnya adalah tentang kami berdua. Kurasa cinta memang tak butuh sebuah pernyataan. Tiada seorang dari kami yang memberikan pertanyaan perasaan. Dan tiada pula yang sudih menjawab. Kami hanya menjalani cerita ini. Sepenuh harap untuk nanti berlanjut hingga ihwal rumah tangga sudih tertemui.
***
Malam ini, aku sedang sibuk mencetak foto di suatu ruangan gelap dalam studio. Mengambil beberapa bahan kimia cair untuk disiapkan dan dicampurkan. Ketika itu, kau menelepon dan berkata tidak bisa pulang karena hujan sangat lebat. Sebotol bahan kimia terbuka kutaruh begitu saja di atas almari dan sesegera mungkin aku berlari menjemputmu ke tempat kau menunggu.
“Semoga kau masih di sana...” aku berharap sembari berlari menembus pekatnya hujan.
***
“Ayo pulang. Ini payungmu...”
Kau malah berlari tanpa menghiraukanku.
“Kau kenapa?”
Kau diam saja. Terus berjalan hingga segala lekukmu terbasahi.
Ya. Masih kuingat detik-detik itu. Detik ketika dia menolak payungku bersebab ingin kupayungi. Dasar wanita, selalu saja tidak bisa ditebak. Terkadang aku pusing menilaimu, tetapi tanpamu, aku tak bisa membayangkan bagaimana warna hidup ini. Barangkali, sifatmu yang menjelma perbedaan dengan wanita lain. Kau istimewa, Mawar.
***
Malam ini, kau memutuskan menginap di studioku. Alibi berkata jikalau hujan tak berhenti sampai tengah malam. Bukannya tidur, aku malah sibuk memotret rinai-rinai senyumanmu. Sebenarnya, yang membuatku ingin mengambil gambar adalah keadaanmu saat ini. Karena bajumu tadi basah, terpaksa kau kupinjami setelan kemeja yang sudah pasti kebesaran. Kufoto keunikan ini berkali-kali. Namun, di jepretan ketiga, rol kameraku habis.
“Biar aku saja yang mengambilnya. Di mana kau meletakkannya?”
“Di atas almari. Tepat di atasnya,” sahutku.
“Aaaarrrgghhhh......” dari dalam ruang pencetakan kau berteriak kencang sekali.
***
Siapa yang menyangka jikalau malam ini akan berakhir di sini. Tertunduk di rumah sakit. Aku duduk termenung sendirian di pojok paviliun. Menyandarkan kepala ke dinding ruangan. Ingin sekali kumenenggelamkannya. Kepalaku berat akan penyesalan. Aku merasa sangat bersalah ketika cairan kimia dalam botol itu tumpah mengenai sepasang matamu.
“Mengapa harus kau yang mengambilnya? Mengapa bukan aku yang mengenai? Mengapa?” ratapan itu sungguh tiada akhir.
“Apa jadinya seorang wanita muda tanpa sepasang mata? Apakah nanti dia masih menghargai nasibnya? Bagaimana?”
***
Untuk menebus segala penyesalanku, aku memutuskan menjauhinya. Tepatnya menghilangkan diri dari setiap penglihatannya. Kuteruskan balapan dengan sekencang kecepatan. Hingga aku puas dan tak mengemudi lagi. Kutuliskan surat pengunduran diri kepada pihak studio. Aku menyatakan keluar dan tak mau memotret lagi. Foto kenangan kita berdua juga telah kurobek menjadi terpisah. Kutinggalkan wajahmu di lain sisi dan sengaja kubawa satu sisiku. Kupamitkan juga perjumpaan terakhir pada asistenku dan berkata bahwa jangan pernah beri tahu di mana aku. Semoga dia mengerti.
***
Genap dua bulan Mawar dirawat di rumah sakit. Tepat di hari ulang tahunnya kini, dia diizinkan dokter untuk membuka mata setelah gelap pasca kejadian itu. Seluruh keluarga berkumpul di ruang rawat inap. Kue tart dan beberapa kembang api telah menyala mewarnai seisi ruangan.
“Ini Ibu, Nak. Kau mengingatnya, bukan?” lembut sekali suara Ibu bertanya.
“Iya, Bu,” pungkasnya.
25 tahun. Usia yang matang untuk seorang wanita ketika menerima pertunangan sesiapa. Namun, kupastikan bukan aku yang di sana. Bukan juga aku yang menjabat tangan penghulu pilihanmu. Mawar, selamat tinggal.
***
Mawar mencariku. Dia datang ke studio. Dia bertanya ke tiap orang di dalamnya. Namun, tak ada yang bisa menjelaskan. Sebab aku tak memberi penjelasan ketika menghilang. Asistenku juga tak berkata apa-apa. Hanya diam, sambil menahan kebohongan terbesar akan hal ini.
Setiap pagi sampai sore dia bekerja. Masih setia melayani pengunjung salon dengan ujung senyumnya yang ramah. Tapi aku berjanji tak akan ke sana lagi.
Sepulang kerja, dia mampir ke studio sembari bertanya apakah ada informasi tentangku. Jawabnya singkat. Tak ada.
***
Minggumu pasti sangat sepi akhir-akhir ini. Tak ada yang mengajakmu ke arena balap. Tak ada yang mengangkat kamera sambil menghitung mundur. Tak akan ada aku di hadapanmu lagi.
Hingga suatu ketika, seseorang mengabarkan jikalau aku sering terlihat duduk sendiri di bangku lusuh belakang taman kota. Dan langsung saja kau mengiyakannya. Kau memancarkan gelisah yang agung, yang membuat seluruh jiwamu tak tenang. Ingin sekali kaujumpai aku dan berkata-kata.
***
Senja hari kau datang. Aku tak merasakan apa-apa. Ditemani anjing penuntunku, aku duduk termangu di belakang taman kota. Sembari bermain melemparkan bola kecil untuk anjingku ini. Angin bertiup cukup kencang. Potret wajahmu yang kelabu terbang terbawa angin menujumu yang berdiri di hadapanku. Kau mengambilnya. Kau mengembalikan foto itu dengan sengguk menahan tangis. Aku tak pernah melihat ronamu lagi sejak operasi donor mata terjadi. Kugadaikan keprofesianku untukmu, kuhanyutkan hobi balapanku di dekatmu, dan kusadari jikalau itu termungkin cukup membalas segalanya.
“Terima kasih, Nona,” ucapku ketika kau mengembalikan fotomu padaku lagi.
Aku berlalu meninggalkanmu yang kini termangu menangisi semuanya. Biarlah. Sebab, jikalau bukan kau yang bahagia, tentu aku takkan bisa hidup sampai saat ini.
Percayalah. Aku masih bisa menyaksi bulir-bulir kesedihan dengan mataku yang kaupakai menangisiku. Biarlah kau memakainya sesukamu. Kuizinkan. Barangkali dengannya, kulihat warni dunia melalui sinarmu, Mawar, yang merona.
(IPM)
Bandung, Mei 2012
Tak mau terus-menerus berilusi, aku lantas mencetak rona itu ke dalam wujud dua dimensi. Ya. Di kertas foto ini kini terpatri lekuk-lekuk sempurnanya. Natural. Sebab saat dipotret, dia tak menunjukkan ekspresi yang dibuat-buat. Aku suka.
“Meski aku tak mengenalmu, yakinku kita akan bersatu...” harapku, yang diam-diam membisikkan ke dunia.
***
“Maaf, mau dipotong model apa, Tuan?”
“E...e...dipotong rapi saja tapi bagian depan tolong dipertahankan,” jawabku sembari menjelaskan.
Barangkali kita memang berjodoh. Ketika aku berkunjung ke sebuah salon, kau yang menyambutku. Melayani pula. Di perjumpaan kedua, akulah yang memberanikan diri berkata. Kutanya siapa namanya. Di mana dia tinggal. Hingga simfoni berlagu, dia bercerita hingga ke kehidupan keluarganya.
“Mawar. Tinggal di kompleks 78, Kota Baru”
“Anak pertama dari keluarga bahagia. Pantas saja parasnya selalu memantik ceria. Tak salah aku mengaguminya. Tuhan, aku terpikat oleh makhlukmu ini. Tolong senantiasa pertemukan kami,” doaku seraya menutup segala deskripsi.
***
“Apa benar ini tempat Dhani bekerja? Maaf, bisa bertemu dengannya?”
“Sebentar. Saya panggilkan...” jawab asistenku pelan.
Mawar bersambang ke studioku. Aku yang masih asyik mencari angle terbaik untuk foto-foto ini sama sekali tak menghiraunya.
Terkejut. Aku terkejut ketika melihatnya berdiri di belakangku.
“Mawar? Sedang apa kau di sini?” tanyaku padanya.
“Ini. Ini punyamu. Tertinggal saat kau tergesa keluar dari salon karena panggilan telepon,” jawabmu perlahan.
Mawar mengembalikan sarung kepalaku yang tersandar rapi di tempat aku memotong rambut tadi. Kubawa dia ke depan latar studio foto. Tak kusiakan kesempatan ini untuk memotretnya. Yang kedua. Lalu ketiga. Kemudian keempat dan seterusnya.
Rasanya telah berlembar-lembar foto tercetak rautnya. Di ruangan gelap tempat pencetakan, aku selalu tersenyum sendirian. Entahlah, sepertinya tak ada yang lucu. Mungkin bersebab hati ini bahagia karenamu.
***
Kuajak kau menyusuri lembar kehidupanku. Aku yang bekerja sebagai fotografer tetapi menggemari balapan motor mengajakmu menemaniku ke lintasan balap.
“Dengan motor ini kau biasa balapan, Dhan?” sanggahmu bertanya.
“Bukan,” singkatku sambil menebar tawa.
Sengaja aku tak membawa motor balapku seperti biasa. Namun, menaiki motor yang kau bisa memapah memeluk punggungku. Motor-matic untuk kita balapan sendiri. Tak ada yang menang. Tak ada pula yang tertunduk kalah. Sebab, ini bukan permainan. Hanya kesenangan yang ingin selalu kubagi denganmu. Semoga kau lebih mengerti aku. Terlebih lagi mencintaiku.
***
Hari-hari berikutnya adalah tentang kami berdua. Kurasa cinta memang tak butuh sebuah pernyataan. Tiada seorang dari kami yang memberikan pertanyaan perasaan. Dan tiada pula yang sudih menjawab. Kami hanya menjalani cerita ini. Sepenuh harap untuk nanti berlanjut hingga ihwal rumah tangga sudih tertemui.
***
Malam ini, aku sedang sibuk mencetak foto di suatu ruangan gelap dalam studio. Mengambil beberapa bahan kimia cair untuk disiapkan dan dicampurkan. Ketika itu, kau menelepon dan berkata tidak bisa pulang karena hujan sangat lebat. Sebotol bahan kimia terbuka kutaruh begitu saja di atas almari dan sesegera mungkin aku berlari menjemputmu ke tempat kau menunggu.
“Semoga kau masih di sana...” aku berharap sembari berlari menembus pekatnya hujan.
***
“Ayo pulang. Ini payungmu...”
Kau malah berlari tanpa menghiraukanku.
“Kau kenapa?”
Kau diam saja. Terus berjalan hingga segala lekukmu terbasahi.
Ya. Masih kuingat detik-detik itu. Detik ketika dia menolak payungku bersebab ingin kupayungi. Dasar wanita, selalu saja tidak bisa ditebak. Terkadang aku pusing menilaimu, tetapi tanpamu, aku tak bisa membayangkan bagaimana warna hidup ini. Barangkali, sifatmu yang menjelma perbedaan dengan wanita lain. Kau istimewa, Mawar.
***
Malam ini, kau memutuskan menginap di studioku. Alibi berkata jikalau hujan tak berhenti sampai tengah malam. Bukannya tidur, aku malah sibuk memotret rinai-rinai senyumanmu. Sebenarnya, yang membuatku ingin mengambil gambar adalah keadaanmu saat ini. Karena bajumu tadi basah, terpaksa kau kupinjami setelan kemeja yang sudah pasti kebesaran. Kufoto keunikan ini berkali-kali. Namun, di jepretan ketiga, rol kameraku habis.
“Biar aku saja yang mengambilnya. Di mana kau meletakkannya?”
“Di atas almari. Tepat di atasnya,” sahutku.
“Aaaarrrgghhhh......” dari dalam ruang pencetakan kau berteriak kencang sekali.
***
Siapa yang menyangka jikalau malam ini akan berakhir di sini. Tertunduk di rumah sakit. Aku duduk termenung sendirian di pojok paviliun. Menyandarkan kepala ke dinding ruangan. Ingin sekali kumenenggelamkannya. Kepalaku berat akan penyesalan. Aku merasa sangat bersalah ketika cairan kimia dalam botol itu tumpah mengenai sepasang matamu.
“Mengapa harus kau yang mengambilnya? Mengapa bukan aku yang mengenai? Mengapa?” ratapan itu sungguh tiada akhir.
“Apa jadinya seorang wanita muda tanpa sepasang mata? Apakah nanti dia masih menghargai nasibnya? Bagaimana?”
***
Untuk menebus segala penyesalanku, aku memutuskan menjauhinya. Tepatnya menghilangkan diri dari setiap penglihatannya. Kuteruskan balapan dengan sekencang kecepatan. Hingga aku puas dan tak mengemudi lagi. Kutuliskan surat pengunduran diri kepada pihak studio. Aku menyatakan keluar dan tak mau memotret lagi. Foto kenangan kita berdua juga telah kurobek menjadi terpisah. Kutinggalkan wajahmu di lain sisi dan sengaja kubawa satu sisiku. Kupamitkan juga perjumpaan terakhir pada asistenku dan berkata bahwa jangan pernah beri tahu di mana aku. Semoga dia mengerti.
***
Genap dua bulan Mawar dirawat di rumah sakit. Tepat di hari ulang tahunnya kini, dia diizinkan dokter untuk membuka mata setelah gelap pasca kejadian itu. Seluruh keluarga berkumpul di ruang rawat inap. Kue tart dan beberapa kembang api telah menyala mewarnai seisi ruangan.
“Ini Ibu, Nak. Kau mengingatnya, bukan?” lembut sekali suara Ibu bertanya.
“Iya, Bu,” pungkasnya.
25 tahun. Usia yang matang untuk seorang wanita ketika menerima pertunangan sesiapa. Namun, kupastikan bukan aku yang di sana. Bukan juga aku yang menjabat tangan penghulu pilihanmu. Mawar, selamat tinggal.
***
Mawar mencariku. Dia datang ke studio. Dia bertanya ke tiap orang di dalamnya. Namun, tak ada yang bisa menjelaskan. Sebab aku tak memberi penjelasan ketika menghilang. Asistenku juga tak berkata apa-apa. Hanya diam, sambil menahan kebohongan terbesar akan hal ini.
Setiap pagi sampai sore dia bekerja. Masih setia melayani pengunjung salon dengan ujung senyumnya yang ramah. Tapi aku berjanji tak akan ke sana lagi.
Sepulang kerja, dia mampir ke studio sembari bertanya apakah ada informasi tentangku. Jawabnya singkat. Tak ada.
***
Minggumu pasti sangat sepi akhir-akhir ini. Tak ada yang mengajakmu ke arena balap. Tak ada yang mengangkat kamera sambil menghitung mundur. Tak akan ada aku di hadapanmu lagi.
Hingga suatu ketika, seseorang mengabarkan jikalau aku sering terlihat duduk sendiri di bangku lusuh belakang taman kota. Dan langsung saja kau mengiyakannya. Kau memancarkan gelisah yang agung, yang membuat seluruh jiwamu tak tenang. Ingin sekali kaujumpai aku dan berkata-kata.
***
Senja hari kau datang. Aku tak merasakan apa-apa. Ditemani anjing penuntunku, aku duduk termangu di belakang taman kota. Sembari bermain melemparkan bola kecil untuk anjingku ini. Angin bertiup cukup kencang. Potret wajahmu yang kelabu terbang terbawa angin menujumu yang berdiri di hadapanku. Kau mengambilnya. Kau mengembalikan foto itu dengan sengguk menahan tangis. Aku tak pernah melihat ronamu lagi sejak operasi donor mata terjadi. Kugadaikan keprofesianku untukmu, kuhanyutkan hobi balapanku di dekatmu, dan kusadari jikalau itu termungkin cukup membalas segalanya.
“Terima kasih, Nona,” ucapku ketika kau mengembalikan fotomu padaku lagi.
Aku berlalu meninggalkanmu yang kini termangu menangisi semuanya. Biarlah. Sebab, jikalau bukan kau yang bahagia, tentu aku takkan bisa hidup sampai saat ini.
Percayalah. Aku masih bisa menyaksi bulir-bulir kesedihan dengan mataku yang kaupakai menangisiku. Biarlah kau memakainya sesukamu. Kuizinkan. Barangkali dengannya, kulihat warni dunia melalui sinarmu, Mawar, yang merona.
(IPM)
Bandung, Mei 2012
PROFIL PENULIS
Idham Padmaya Mahatma, lahir di Watampone, Sulawesi Selatan pada tanggal 31 Mei 1993. Anak pertama dari pasangan Suyono-Suprapti dibesarkan di Jawa, tepatnya di kota pahlawan Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan dasar ditamatkan di Kabupaten Sidoarjo, kota kecil dekat Surabaya sebelum akhirnya melanjutkan studi sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Di ITB, Idham cukup aktif dalam berbagi kegiatan kemahasiswaan, namun minatnya akan sastra membuat dia meluangkan banyak waktu di unit Lingkar Sastra ITB serta mengikuti Gerakan Indonesia Membaca Sastra (GIMS) – Bandung. Idham dapat dihubungi di akun FB: Idham Padmaya Mahatma.
Idham Padmaya Mahatma, lahir di Watampone, Sulawesi Selatan pada tanggal 31 Mei 1993. Anak pertama dari pasangan Suyono-Suprapti dibesarkan di Jawa, tepatnya di kota pahlawan Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan dasar ditamatkan di Kabupaten Sidoarjo, kota kecil dekat Surabaya sebelum akhirnya melanjutkan studi sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Di ITB, Idham cukup aktif dalam berbagi kegiatan kemahasiswaan, namun minatnya akan sastra membuat dia meluangkan banyak waktu di unit Lingkar Sastra ITB serta mengikuti Gerakan Indonesia Membaca Sastra (GIMS) – Bandung. Idham dapat dihubungi di akun FB: Idham Padmaya Mahatma.
Baca juga Cerpen Sedih yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment