MR. BLACK
Oleh Ahmad Bahrin Nada
Mr. Black bukan nama yang asing bagiku dan warga di daerahku, hampir semua orang mengenalnya. Dia adalah sosok pendatang baru yang dapat membuat semua orang terkesan dengannya. Seorang agamis yang bertampang kebarat-baratan, dan ia suka sekali dengan berwarna hitam, hampir semua benda yang ia miliki berwarna hitam. Oleh karena itu, warga setempat memanggil ia Mr. Black. Namanya sangatlah tenar di daerah kami, baru setahun dia tinggal didesa kami, dia sudah banyak membantu para warga desa kami. Bahkan ia telah membuat padepokan yang lumayan besar, dengan sebuah masjid di tegah-tenganya. Para murid pun berdatangan dari luar desa, luar kota, bahkan luar pulau.
“Pak mister itu sangatlah baik,ramah dan sopan.” Ungkap Pak RT yang memulai obrolan di warung.
“Ya! Betul itu. Bahkan ia juga sakti lho. Wong kemaren saja si Sukem tetanggaku itu pergi kerumah Pak Mister, dia berniat mau hutang sama Pak Mister. Eh... tenyata, ketika ia hendak mengatakan apa yang ia inginkan, Pak Mister langsung memberi amplop berisi uang kepada Sukem. Ketika ia lihat isi amplop yang ia terima dari Pak mister, jumlanya pun sama dengan yang ia inginkan. Dan uang itu pun tidak dipinjamkan, melaikan dikasihkan Cuma-Cuma.” Cerita Pak Sholeh, seorang guru negri didesa kami.
“Tidak hanya itu! Bahkan dia juga bisa ngobatin Pak Subki yang mengidap penyakit tumor pada otaknya.
Mr. Black bukan nama yang asing bagiku dan warga di daerahku, hampir semua orang mengenalnya. Dia adalah sosok pendatang baru yang dapat membuat semua orang terkesan dengannya. Seorang agamis yang bertampang kebarat-baratan, dan ia suka sekali dengan berwarna hitam, hampir semua benda yang ia miliki berwarna hitam. Oleh karena itu, warga setempat memanggil ia Mr. Black. Namanya sangatlah tenar di daerah kami, baru setahun dia tinggal didesa kami, dia sudah banyak membantu para warga desa kami. Bahkan ia telah membuat padepokan yang lumayan besar, dengan sebuah masjid di tegah-tenganya. Para murid pun berdatangan dari luar desa, luar kota, bahkan luar pulau.
“Pak mister itu sangatlah baik,ramah dan sopan.” Ungkap Pak RT yang memulai obrolan di warung.
“Ya! Betul itu. Bahkan ia juga sakti lho. Wong kemaren saja si Sukem tetanggaku itu pergi kerumah Pak Mister, dia berniat mau hutang sama Pak Mister. Eh... tenyata, ketika ia hendak mengatakan apa yang ia inginkan, Pak Mister langsung memberi amplop berisi uang kepada Sukem. Ketika ia lihat isi amplop yang ia terima dari Pak mister, jumlanya pun sama dengan yang ia inginkan. Dan uang itu pun tidak dipinjamkan, melaikan dikasihkan Cuma-Cuma.” Cerita Pak Sholeh, seorang guru negri didesa kami.
“Tidak hanya itu! Bahkan dia juga bisa ngobatin Pak Subki yang mengidap penyakit tumor pada otaknya.
Hampir semua rumah sakit yang ia datangi, sudah pasrah dengan penyakit Pak Subki. Tapi setelah ia di bawa ke rumah Mr. Black, sekarang ia sembuh total, dan sekarang ia pun sudah bisa kerja lagi.” Sahut Bu Rusminah, penjaga warung. Sambil menyuguhkan kopi ke Pak RT.
“Apa itu yang dinamakan keramat ya?” sahut saya saat itu, yang dari tadi ingin ikutan bicara.
“Ya! Bisa juga sih.” Sahut Pak Sholeh, sambil merogo saku kanannya.
“Bagaimana, kalau kita bersama-sama berkunjung ke padepokanya pak Mister? Sekalian silaturrahim lah sama beliau.” Ajak Pak RT, sambil menyeruput kopinya yang masih panas itu.
“boleh juga itu! Sambil melihat keadaan pak Mister, yang katanya sih dia sudah sebulan gak keluar dari gubuk kecilnya.” Sahut pak Sholeh, dengan serius.
“Apa itu yang dinamakan keramat ya?” sahut saya saat itu, yang dari tadi ingin ikutan bicara.
“Ya! Bisa juga sih.” Sahut Pak Sholeh, sambil merogo saku kanannya.
“Bagaimana, kalau kita bersama-sama berkunjung ke padepokanya pak Mister? Sekalian silaturrahim lah sama beliau.” Ajak Pak RT, sambil menyeruput kopinya yang masih panas itu.
“boleh juga itu! Sambil melihat keadaan pak Mister, yang katanya sih dia sudah sebulan gak keluar dari gubuk kecilnya.” Sahut pak Sholeh, dengan serius.
Setelah kita semua selesai dari warung, kita pun bersama-sama pergi ke padepokan Mr. Black. Belum sampai di depan padepokan Mr. Black, kita semua di kejutkan dengan kaedatangan para warga yang berbondong-bondong pergi ke padepokan Mr. Black pula. Aku pun terheran-heran melihat mereka semua menggunakan pakaian serba hitam, seakan-akan mereka sedang melayat. Ujarku dalam hatiku. Tenyata betul dugaanku, salah satu dari kami berrtanya kepada mereka, dan tenyata Mr. Black telah meninggal dunia.
Seketika itu pun aku mencoba untuk menerobos grombolan pelayat dipadepokan Mr. Black. tak seorang pun yang tidak meneteskan air matanya, melihat seseorang yang menurut mereka sangatlah berjasa, dan tiba-tiba meninggalkan mereka. Semua orang pun berbondong-bondong untuk menyalati mayat Mr. Black. sampai larut malam jasat sang mister pun baru dikebumikan, dan cara membawa pendoso (tempat mayat) Mr. Black pun tidak seperti biasa, yang diangkat oleh empat orang terus diikuti orang banyak di belakangnya. Tetapi kali ini beda, pendoso Mr. Black diangkat seprti halnya makanan yang akan disajikan kepada para undangan dengan cara main oper dari satu tangan ketangan yang lain, karena semua warga ingin mengangkat jasad Mr. Black untuk yang terakhir kalinya.
Semenjak sepeninggalnya Mr. Black hampir suasana desa kami sangatlah sepi tidak seperti hari-hari biasa walaupun diliputi dengan kesibukan mereka masing-masing, seperti anak itik kehilangan induknya, dan hampir sudah dua hari kesedihan warga kami masih belum redah.
Setelah shalat jum’at berjamaah di masjid yang berada di padepokan Mr. Black. para pemuda masjid berkumpul, seakan-akan mereka merencanakan sesuatu. Aku pun mencoba untuk mendekati mereka, dan mencoba mendengarkan pembicaraan mereka.
“Bagaimana, kalau kita mencoba masuk keruangannya Mr. Black yang berada di belakang masjid ini?” tegas salah satu pemuda masjid dari mereka.
“ Ya aku setuju! Karena aku penasaran sekali dengan ruangan Mr. Black. yang mana tak seorangpun diizinkan memasuki ruangan itu, dan sebulan suntuk Mr. Black sebelum dia meninggal dia selalu di ruanganya itu, dan ketika dia keluar dari ruangan itu dia langsung melepaskan nafas terakhirnya.” Ujar kang Izar sebagai ketua remaja masjid.
Akhirnya mereka pun pergi ke ruangan Mr. Black yang berada di belakang masjid, aku pun mengikuti mereka dan ikut masuk. Ternya diluar dugaanku ruangannya begitu indah, dengan dinding-dinding yang bercorak kaligrafi buah tangan sang mister sendiri, dengan tumpukan puluhan buku-buku dan kitab-kitab karangan mister. Semua itu membuat kami semua teringat akan kehebatan beliau dan membuat kami merenung dan meneteskan air mata untuk yang kesekian kalinya.
Tiba-tiba aku teralihkan dengan sebuah pintu yang dikunci dengan gembok-gembok yang menempel di pintu itu. Setelah aku sadar, diruangan ini cuman ada dua ruangan, ruangan tempat buku dan kitab-kitab mister dan ruangan yang menurutku sangan aneh yakni ruangan yang dikunci dengan beberapa gembok di pintunya. Ketika para remaja masjid hendak keluar, aku pun menyeru mereka agar jangan keluar dulu, dengan maksud untuk membuka pintu penuh gembok itu.
Mereka pun menuruti apa kataku, dengan mengambil sebuah palu di gudang masjid. Satu persatu gembok itu terbuka dengan cara menghancurkan gembok-gembok tersebut. Setelah pintu itu terbuka, mereka pun masuk kedalam ruangan tersebut. Tak lama mereka masuk ruangan itu, mereka semua berteriak histeris. Belum ada lima menit mereka di dalam, salah satu dari mereka lari keluar, dan dia mengajak saya untuk meninggalkan ruangan itu.
Setelah keluar dari ruangan itu, salah seorang remaja masjid tadi, sebut saja Udin, pergi entah kamana arahnya. Aku pun masih kebingungan dengan tingkah laku mereka setelah masuk ruangan itu. sambil duduk-duduk di teras masjid, tak lama kemudian, udin kembali dengan membawa para warga desa dengan wajah sangat marah besar dan mereka semua membawa benda-benda tajam dan minyak gas. Saat itu akupun hanya terdiam dan terpaku dengan tingkah laku mereka.
Mereka semua menghancurkan ruangannya Mr. Black, padepokanya, bahkan masjinya pun ikut dihhancurkan. Semua buku-bukunya dibakar, kuburanya pun dihancurkan dan mayatnya diambil lalu di buang ke laut. Sungguh tragedi yang sangat mengerihkan bagiku saat itu.
Sebulan kemudian, setelah kericuhan itu meredah aku pun mencoba untuk memberanikan diri menemui kang udin, salah satu remaja masjid yang bisa di katakan sebagai dalang kericuhan didesa kami sebulan yang lalu, untuk menanyakan sebab alasan mengapa semua peninggalan Mr. Black harus dilenyapkan beserta mayatnya yang sampai sekarang kabar itu sudah mulai terhapus jejaknya.
Kata kang udin, semua itu berasal dari ruangan kedua Mr. Black. yang menurutnya sangatlah tidak pantas, bahkan sangatlah tak manusiawi sekali. Di ruangan kedua itu terdapat sebuah kamar kecil yang di dalamnya ada sebuah tempat pembuangan air besar yang sangat menghina bahkan melecehkan agama kami, yaitu kitab suci dan kitab-kitab agama kami dibuatnya sebagai pinjakan kaki di WC tersebut.
Tuban, 28 march 2012
0 comments:
Post a Comment