SALAH PADA AWALNYA (SETIDAKNYA)
Cerpen Bella Gemilang
Lalu, aku hanya dapat tersenyum simpul mengingat kejadian siang tadi. Walau ada sedikit perasaan sakit, tapi setidaknya aku bicara dengannya. Aku dekat dengannya.
***
"Fajar juga ikut," kata-kata itu tak pelak membuat jantungku bersalto. Berdetak secepat detakan detik dalam arlojiku. Aku tersenyum dan menggigit bibir diam-diam
"Kita kenalin dia dengan Febri.." terusnya lagi, menohok ulu hatiku dengan pedang katana. Feeling so sick! Aku menelan ludah diam-diam. Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini? Padahal bicara dengan Fajarpun aku tidak pernah.
"Sebentar lagi aku sampai ke rumahmu," setelah menarik nafas dalam-dalam, aku menutup sambungan. Kuletakkan gagang telepon ke tempatnya sebelum aku menghempaskan diri ke atas sofa ruang TV. Dadaku berdebar, entah karena apa. Fajar. Lagi, nama dan sosok itu membayang di kepalaku. Ada sejuta sesal dihatiku, tapi aku memang tidak dapat menyalahkan keadaan. Mungkin memang sudah harus seperti ini jalannya.
**
Lalu, aku hanya dapat tersenyum simpul mengingat kejadian siang tadi. Walau ada sedikit perasaan sakit, tapi setidaknya aku bicara dengannya. Aku dekat dengannya.
***
"Fajar juga ikut," kata-kata itu tak pelak membuat jantungku bersalto. Berdetak secepat detakan detik dalam arlojiku. Aku tersenyum dan menggigit bibir diam-diam
"Kita kenalin dia dengan Febri.." terusnya lagi, menohok ulu hatiku dengan pedang katana. Feeling so sick! Aku menelan ludah diam-diam. Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini? Padahal bicara dengan Fajarpun aku tidak pernah.
"Sebentar lagi aku sampai ke rumahmu," setelah menarik nafas dalam-dalam, aku menutup sambungan. Kuletakkan gagang telepon ke tempatnya sebelum aku menghempaskan diri ke atas sofa ruang TV. Dadaku berdebar, entah karena apa. Fajar. Lagi, nama dan sosok itu membayang di kepalaku. Ada sejuta sesal dihatiku, tapi aku memang tidak dapat menyalahkan keadaan. Mungkin memang sudah harus seperti ini jalannya.
**
Setengah jam kemudian, Dika dan Fajar sampai didepan rumah. Aku mematut diri lebih lama, entah karena akan bertemu dengan Fajar --untuk yang pertama kalinya-- atau karena aku akan pergi bersama Dika. Aku tidak dapat memastikan diri. Perasaanku seolah terus mempermainkan kenyataan yang nampak didepanku saat ini.
"Kak Fajar mana?" aku bertanya spontan ketika kulihat Dika berdiri diluar pagar seorang diri. Dika menunjuk ke arah belakang, dan sosok yang kucari itu telah berdiri disana. Aku hanya -berusaha- menatapnya sebentar. Kemudian kusuruh keduanya masuk, sementara aku menyusul Febri dan Inong yang akan ikut pergi bersama kami hari ini.
"Minum dulu ya." aku menawar basa-basi saat Fajar duduk dikursi teras. Fajar tersenyum kecil. Astaga! Tolong, jangan lakukan lagi sebelum aku nekad memelukmu didepan Dika! aku membatin frustrasi. Sebelum aku benar-benar meleleh dihadapannya, aku menyuruhnya masuk dan membiarkan Dika yang menyuguhkan secangkir air buat Fajar. Sejenak aku menenangkan diri. Fajar akan dipertemukan dengan Febri, sepupuku, teman dekatku semasa kecil. Dan bukannya akan mengajakku pergi karena sampai kapanpun itu tidak akan pernah terjadi.
***
Cikole, Lembang.
Pohon-pohon pinus menjulang tinggi didepan kami. Aku, Febri, Inong, Dika, dan tentu saja Fajar berjalan diantara pohon-pohon yang berjajar rimbun. Sementara Inong dan Febri berjalan didepan, posisiku berada ditengah. Diantara kedua cowok ber'status' pacarku dan.... idolaku?
Sekilas aku melirik Fajar yang tetap anteng berjalan, sebelum kemudian ia menoleh ke arahku. Bertanya,
"Udah pernah ke sini?" tanyanya. Ah ya, aku tidak pernah berencana pergi hari ini kalau saja kemarin Febri tidak mulai membahasnya. Bisa saja aku tidak akan sedekat ini dengan Fajar, atau bahkan mungkin aku tidak akan galau memikirkannya sepanjang perjalanan tadi. Rasanya? Senang, sedih, lapar, ngantuk semua bercampur jadi satu. Saat itu juga! #bayangkan sendiri!
"Sering," sahutku singkat. Demi apapun didunia, aku gembira saat menyadari bahwa sebelum hari ini, aku hanya dapat berkhayal bicara jauh dengannya, tapi saat ini aku benar-benar berjalan disampingnya. Disampingnya! Bicara banyak pula dengannya. Aku merasa jadi pemenang diantara sekian pesaing yang berebut ingin dekat dengan cowok pendiam ini.
"Kita ke mana lagi?" suara lain membuyarkan kesenanganku. Ada sesuatu lain yang membuat perasaanku ketar-ketir. Aku merasa mendengar sebuah suara dikepalaku yang berteriak, "Hey, Nirmala! Apa sih yang kamu pikirin? Kamu udah punya Dika! Dika! Cowok yang serius, yang bahkan selalu ada saat kamu butuh, selalu memaafkan biarpun kamu terlalu sering bikin kesalahan. Udahlah, Fajar itu cuma mimpi kamu. Lagipula, siapa kamu? Berharap pada cowok yang tidak ada pantas-pantasnya buat kamu? Dia teman dekat Dika. Kalau Dika tahu soal ini, kamu bakal menyesal!" tapi hatiku memberontak, mengelak kalimat itu habis-habisan. Sejak pertama, sejak setahun lalu aku memang sudah menyimpan 'perasaan lebih' pada Fajar meskipun aku tidak mengenalinya. Tapi aku menyelami banyak tentangnya, diam-diam. Dan entah bagaimana ceritanya aku malah berujung dengan Dika. Walau aku menyadari bahwa banyak sekali yang sudah dilakukan cowok itu padaku. Sungguh keterlaluan kalau aku masiiih saja memikirkan hal lain tentang orang lain. Please, Nirmala! batinku menggumam, "lagipula, sepertinya memang baik jika Fajar bersama Febri." terusku.
"Eh, di sini bagus pemandangannya. Ayo foto.." aku kaget bukan kepalang. Fajar menyuruhku foto bersama Dika. Memang sudah sewajarnya, tapi ada apa sebenarnya denganku? Aku mengelak dengan mengatakan apapun yang sebenarnya tidak penting. Mendengar penolakanku, Dika menatapku, sejenak kemudian ia membuang muka dan menelepon seseorang yang entah siapa.
***
Duduk bersamanya disebuah batu besar. Kapan aku pernah bermimpi ini akan jadi kenyataan? Berbulan-bulan lalu. Aku menatap punggungnya dari belakang, berpikir keras. Seandainya aku berujung denganmu! kataku. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan semuanya demi Dika. Cowok baik hatiku. Aku tidak boleh mengecewakannya walaupun sekelebat bayangan itu selalu menyelip dikepalaku. Bagaimana dengan Dika? Fajar sudah tahu bahwa aku telah bersama Dika. Jadi, kemungkinan untuk jauh lebih dekat dengannya sangat kecil, bahkan malah bisa jadi tidak mungkin sekalipun hari ini aku tidak bersama Dika. Tuhan, ternyata menyakitkan ya?
"Mala," suara tidak asing itu mampir ke telingaku. Aku menoleh dan mendapati Dika berdiri disana.
"Ikut sebentar yuk." ajaknya. Aku mengerutkan dahi.
"Ke mana?" aku balik bertanya. Kutatap Fajar yang ikut menoleh ke belakang.
"Aku tinggal bentar ya." pamit Dika. Aku berdiri dan berjalan mengekor.
"Aku malu banget sama Fajar," celetuk Dika diperjalanan. Aku yang kini berjalan sejajar dengannya menoleh, menatap ke arahnya.
"Kenapa?"
"Kenapa sih tadi pake acara gak mau foto segala? Fajar bilang 'masak pacaran cuma buat status aja?'" aku menelan ludah. Lagi-lagi rasanya ada batu besar yang mengganjal tenggorokanku. Diam, aku tak mampu menjawab karena akupun tak tahu jawaban apa yang harus kulontarkan demi membela diri. Aku tahu, memang akulah yang salah. Aku hanya bisa meminta maaf pada Dika atas itu. Dika tersenyum dan bilang "asal lain kali jangan begitu lagi.." aku benar-benar merasa bersalah padanya. Ah, kenapa hati kerjaannya bentrokan dengan logika terus? aku meringis dalam hati.
"Tadi aku udah bilang sama Fajar tapi dia gak mau dideketin dengan Febri. Biar dia yang cari sendiri aja, katanya." katanya. Aku menatapnya. Ada sebuah perasaan yang mendesir ditubuhku saat mendengarnya. Entah apa itu.
***
Akhirnya kami berfoto berdua disebuah sungai kecil didaerah sana. Aku dan Dika dengan Fajar yang menjadi fotografer, sementara Inong dan Febri hanya jadi penonton setia yang menyaksikan adegan ini. Huh!
"Kak Fajar mana?" aku bertanya spontan ketika kulihat Dika berdiri diluar pagar seorang diri. Dika menunjuk ke arah belakang, dan sosok yang kucari itu telah berdiri disana. Aku hanya -berusaha- menatapnya sebentar. Kemudian kusuruh keduanya masuk, sementara aku menyusul Febri dan Inong yang akan ikut pergi bersama kami hari ini.
"Minum dulu ya." aku menawar basa-basi saat Fajar duduk dikursi teras. Fajar tersenyum kecil. Astaga! Tolong, jangan lakukan lagi sebelum aku nekad memelukmu didepan Dika! aku membatin frustrasi. Sebelum aku benar-benar meleleh dihadapannya, aku menyuruhnya masuk dan membiarkan Dika yang menyuguhkan secangkir air buat Fajar. Sejenak aku menenangkan diri. Fajar akan dipertemukan dengan Febri, sepupuku, teman dekatku semasa kecil. Dan bukannya akan mengajakku pergi karena sampai kapanpun itu tidak akan pernah terjadi.
***
Cikole, Lembang.
Pohon-pohon pinus menjulang tinggi didepan kami. Aku, Febri, Inong, Dika, dan tentu saja Fajar berjalan diantara pohon-pohon yang berjajar rimbun. Sementara Inong dan Febri berjalan didepan, posisiku berada ditengah. Diantara kedua cowok ber'status' pacarku dan.... idolaku?
Sekilas aku melirik Fajar yang tetap anteng berjalan, sebelum kemudian ia menoleh ke arahku. Bertanya,
"Udah pernah ke sini?" tanyanya. Ah ya, aku tidak pernah berencana pergi hari ini kalau saja kemarin Febri tidak mulai membahasnya. Bisa saja aku tidak akan sedekat ini dengan Fajar, atau bahkan mungkin aku tidak akan galau memikirkannya sepanjang perjalanan tadi. Rasanya? Senang, sedih, lapar, ngantuk semua bercampur jadi satu. Saat itu juga! #bayangkan sendiri!
"Sering," sahutku singkat. Demi apapun didunia, aku gembira saat menyadari bahwa sebelum hari ini, aku hanya dapat berkhayal bicara jauh dengannya, tapi saat ini aku benar-benar berjalan disampingnya. Disampingnya! Bicara banyak pula dengannya. Aku merasa jadi pemenang diantara sekian pesaing yang berebut ingin dekat dengan cowok pendiam ini.
"Kita ke mana lagi?" suara lain membuyarkan kesenanganku. Ada sesuatu lain yang membuat perasaanku ketar-ketir. Aku merasa mendengar sebuah suara dikepalaku yang berteriak, "Hey, Nirmala! Apa sih yang kamu pikirin? Kamu udah punya Dika! Dika! Cowok yang serius, yang bahkan selalu ada saat kamu butuh, selalu memaafkan biarpun kamu terlalu sering bikin kesalahan. Udahlah, Fajar itu cuma mimpi kamu. Lagipula, siapa kamu? Berharap pada cowok yang tidak ada pantas-pantasnya buat kamu? Dia teman dekat Dika. Kalau Dika tahu soal ini, kamu bakal menyesal!" tapi hatiku memberontak, mengelak kalimat itu habis-habisan. Sejak pertama, sejak setahun lalu aku memang sudah menyimpan 'perasaan lebih' pada Fajar meskipun aku tidak mengenalinya. Tapi aku menyelami banyak tentangnya, diam-diam. Dan entah bagaimana ceritanya aku malah berujung dengan Dika. Walau aku menyadari bahwa banyak sekali yang sudah dilakukan cowok itu padaku. Sungguh keterlaluan kalau aku masiiih saja memikirkan hal lain tentang orang lain. Please, Nirmala! batinku menggumam, "lagipula, sepertinya memang baik jika Fajar bersama Febri." terusku.
"Eh, di sini bagus pemandangannya. Ayo foto.." aku kaget bukan kepalang. Fajar menyuruhku foto bersama Dika. Memang sudah sewajarnya, tapi ada apa sebenarnya denganku? Aku mengelak dengan mengatakan apapun yang sebenarnya tidak penting. Mendengar penolakanku, Dika menatapku, sejenak kemudian ia membuang muka dan menelepon seseorang yang entah siapa.
***
Duduk bersamanya disebuah batu besar. Kapan aku pernah bermimpi ini akan jadi kenyataan? Berbulan-bulan lalu. Aku menatap punggungnya dari belakang, berpikir keras. Seandainya aku berujung denganmu! kataku. Aku memejamkan mata, berusaha melupakan semuanya demi Dika. Cowok baik hatiku. Aku tidak boleh mengecewakannya walaupun sekelebat bayangan itu selalu menyelip dikepalaku. Bagaimana dengan Dika? Fajar sudah tahu bahwa aku telah bersama Dika. Jadi, kemungkinan untuk jauh lebih dekat dengannya sangat kecil, bahkan malah bisa jadi tidak mungkin sekalipun hari ini aku tidak bersama Dika. Tuhan, ternyata menyakitkan ya?
"Mala," suara tidak asing itu mampir ke telingaku. Aku menoleh dan mendapati Dika berdiri disana.
"Ikut sebentar yuk." ajaknya. Aku mengerutkan dahi.
"Ke mana?" aku balik bertanya. Kutatap Fajar yang ikut menoleh ke belakang.
"Aku tinggal bentar ya." pamit Dika. Aku berdiri dan berjalan mengekor.
"Aku malu banget sama Fajar," celetuk Dika diperjalanan. Aku yang kini berjalan sejajar dengannya menoleh, menatap ke arahnya.
"Kenapa?"
"Kenapa sih tadi pake acara gak mau foto segala? Fajar bilang 'masak pacaran cuma buat status aja?'" aku menelan ludah. Lagi-lagi rasanya ada batu besar yang mengganjal tenggorokanku. Diam, aku tak mampu menjawab karena akupun tak tahu jawaban apa yang harus kulontarkan demi membela diri. Aku tahu, memang akulah yang salah. Aku hanya bisa meminta maaf pada Dika atas itu. Dika tersenyum dan bilang "asal lain kali jangan begitu lagi.." aku benar-benar merasa bersalah padanya. Ah, kenapa hati kerjaannya bentrokan dengan logika terus? aku meringis dalam hati.
"Tadi aku udah bilang sama Fajar tapi dia gak mau dideketin dengan Febri. Biar dia yang cari sendiri aja, katanya." katanya. Aku menatapnya. Ada sebuah perasaan yang mendesir ditubuhku saat mendengarnya. Entah apa itu.
***
Akhirnya kami berfoto berdua disebuah sungai kecil didaerah sana. Aku dan Dika dengan Fajar yang menjadi fotografer, sementara Inong dan Febri hanya jadi penonton setia yang menyaksikan adegan ini. Huh!
Fajar tersenyum (selalu) saat mengambil foto kami. Dan ulu hatiku terasa ditusuk-tusuk lagi melihatnya. Ah, pada kenyataannya, semua memang tidak mungkin. Aku dan Fajar bagai langit dan bumi. Terbentang jarak. Jauh luar biasa. Aku bumi, dan ia langitnya. Harapa-harapan setahun terakhir ini memang hanya sekedar harapan. Memang tak mungkin aku bersamanya, tapi setidaknya... hari ini aku bisa bicara dengannya untuk yang pertama kali. Karena mungkin, kalau aku tdak bersama Dika, aku tidak akan menemuinya hari ini. Dika, cowok itulah yang membawaku menjemput 'harapan'ku meski hanya dalam bentuk bayangan. Dika cowok itulah yang mempertemukanku dengannya, hari ini.
Walau sampai kapanpun tidak akan pernah jadi 'mungkin', tapi setidaknya hari ini aku bisa bicara dengannya. Untuk yang pertama kalinya :')
Senin, 12 Maret 2012 (08 : 13)
PROFIL PENULIS
Bella Gemilang,
Bandung 05 Oktober 1993
Tk I, STKS Bandung
Bandung 05 Oktober 1993
Tk I, STKS Bandung
Baca juga Cerpen Sedih yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment