AIR MATA
Karya Ilham Gemabina
“ada yang lain di senja ini?” begitu kata hatiku bertanya, ketika kupandangi matahari senja yang terus meluncur dan siap bersembunyi di balik cakrawala.
“ada apa, mengapa angin di pantai ini tak sesepoi dangan senja kemarin?” kata hatiku terus bertanya disaat mataku menatap debur ombak yang sesekali datang menyapa putihnya pasir pantai.
Sekurang-kurangnya puluhan pasang muda-mudi ada di pantai itu. Belasan anak lagi bermain sambil berlarian menelusuri garis pantai memutih salju. Kupandangi mereka terus yang lagi asyik menikmati matahari senja sambil tersenyum
“aku yakin, pasti mereka tak sadar bahwa ada yang lain di pantai ini!” bisik hatiku pada angin menyambar daun telingaku.
Matahari senja semakin enggan tampakkan tubuhnya. Ku terus duduk dan sesekali menghisap rokok yang ada di sela-sela jemariku. Debur ombak masih seperti yang tadi hanya sesekali manyapa dan menciumi pasir putihnya pantai.
“ada apa, mengapa angin di pantai ini tak sesepoi dangan senja kemarin?” kata hatiku terus bertanya disaat mataku menatap debur ombak yang sesekali datang menyapa putihnya pasir pantai.
Sekurang-kurangnya puluhan pasang muda-mudi ada di pantai itu. Belasan anak lagi bermain sambil berlarian menelusuri garis pantai memutih salju. Kupandangi mereka terus yang lagi asyik menikmati matahari senja sambil tersenyum
“aku yakin, pasti mereka tak sadar bahwa ada yang lain di pantai ini!” bisik hatiku pada angin menyambar daun telingaku.
Matahari senja semakin enggan tampakkan tubuhnya. Ku terus duduk dan sesekali menghisap rokok yang ada di sela-sela jemariku. Debur ombak masih seperti yang tadi hanya sesekali manyapa dan menciumi pasir putihnya pantai.
Mungkin lantaran matahari senja yang sudah enggan nampakkan wajahnya, satu persatu pasangan pemuda itu beranjak dari tempat duduknya menuju kendaraannya masing-masing. Begitu pun dengan belasan anak-anak itu. Wajah menggambarkan sangat kelelahan bermain, mereka pun berembuk pulang ke peraduannya masing-masing.
Kini, tak sedikit pun wajah matahari senja yang nampak lagi. Satu persatu bintang gemintang bermunculan dengan memainkan tarian kedipnya. Akupun seakan-akan terjebak dalam penjara malam. Ku berniat beranjak dari tempat lamunku, namun berat rasanya ketika tiba-tiba kupandangi 2 genangan Air Mata di tempat yang berbeda. Semakin ku pandangi 2 Air Mata itu, ingin rasanya aku menyapanya dan bertanya padanya.
Malam semakin larut, selarut pandanganku ke arah Air Mata yang entah milik siapa. Tak terasa tubuhku gemetar, hatiku berdebar bagaikan dentuman rebana mengiringi tarian sayyang pattu’du. Heran. Mengapa aku begini?
Malam semakin sepi, di pantai terbuyar seketika di saat teriakan berkumandang di gendang telingaku “PELACUUUR”. Entah suara dari mana, yang ada hanya 2 leningan air mata menemani kesendirianku.
“apa aku bermimpi?” tanya hatiku semakin menyimpan rasa tanya mendalam.
“tidak, aku tidak bermimpi?” bisik hatiku si sudut lain.
Sura debur ombak semakin tak terdengar lagi. Kuharap angin datang menyapa, namun tak sudi jua. Entah itu rasa apa, tak terasa olehku kedua telapak kakiku malangkah menuju ke genangan Air Mata yang seolah-olah ingin membentuk sebuah telaga air mata.
“kamu milik siapa?” sapaku di Air Mata pertama
“aku air mata seorang wanita!” jawabnya penuh rasa haru.
“tapi mengapa kamu ada di pantai ini?” tanyaku dengan rasa ingin tahu.
“aku dibuang di sini karena wanita itu sakit hati karena ia tahu ia talah disia-siakan oleh seorang pria yang sangat dicintainya”
Tiba-tiba aku termenung dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Kuputuskan tuk beranjak darinya. Lalu ku coba mendekat dan menyapa Air Mata yang ke dua itu.
“mengapa kamu ada di sini juga?” tanyaku persis sama dengan Air Mata milik wanita itu.
“aku adalah air mata seorang pria yang menyia-nyiakan cinta dari seorang wanita yang sangat mencintainya”.
Angin yang dahulu enggan bertiup, kini mulai membisik di ke dua daun telingaku. Debur ombak yang enggan menyapa bibir pantai kini mulai terdengar dan terlihat bergantian menggulungkan tubuhnya lagi.
Entah itu karena siapa? Apakah mereka terharu mendengar pengakuan 2 genangan Air Mata itu, ataukah teriakan kata “PELACUR” tadi.
Aku yang kini hanya bisa terdiam dan termenung memikirkan diriku sendiri.
“apakah aku brsalah?” kata hatiku kemudian bertanya lagi. Lalu akupun pergi dan beranjak dengan menghapus 2 genangan Air Mata itu yang telah kugantikan menjadi 1 genangan Air Mata milikku sendiri, lalu ku tinggalkan untuk mewakili air mata milik wanita dan pria di pantai itu.
POLEWALI MANDAR
“mengapa kamu ada di sini juga?” tanyaku persis sama dengan Air Mata milik wanita itu.
“aku adalah air mata seorang pria yang menyia-nyiakan cinta dari seorang wanita yang sangat mencintainya”.
Angin yang dahulu enggan bertiup, kini mulai membisik di ke dua daun telingaku. Debur ombak yang enggan menyapa bibir pantai kini mulai terdengar dan terlihat bergantian menggulungkan tubuhnya lagi.
Entah itu karena siapa? Apakah mereka terharu mendengar pengakuan 2 genangan Air Mata itu, ataukah teriakan kata “PELACUR” tadi.
Aku yang kini hanya bisa terdiam dan termenung memikirkan diriku sendiri.
“apakah aku brsalah?” kata hatiku kemudian bertanya lagi. Lalu akupun pergi dan beranjak dengan menghapus 2 genangan Air Mata itu yang telah kugantikan menjadi 1 genangan Air Mata milikku sendiri, lalu ku tinggalkan untuk mewakili air mata milik wanita dan pria di pantai itu.
POLEWALI MANDAR
PROFIL PENULIS
Ilham, ketua Umum Gerakan Mahasiswa Bahasa Indonesia Universitas Al Asyariah Mandar dan Warga Padepokan Sastra MPU Tantular
0 comments:
Post a Comment