AYO SEKOLAH
Karya Ilham
Ketika mentari mulai terlihat merangkak perlahan di ufuk timur, Raodah nampak bergegas menuju kamar tidur anaknya. Pagi yang disambut kokokan ayam jantan dari segala sudut penjuru kampung membuat janda muda itu semakin tampak gelisah. Mengapa tidak, arah jarum jam hampir menunjuk tepat ke angka enam, namun anak semata wayangnya itu tak kunjung bangun dari tidurnya. Bukan hanya gelisah, namun perlahan raut wajah Raodah terlihat begitu kesal setelah melihat tingkah anaknya yang tak seperti biasanya.
“Udin lekas bangun, sudah siang,” begitu kata Raodah setelah tepat berada di tempat pembaringan anaknya itu. Entah masih berada dalam dunia mimpinya, perkataan itu tak digubris Udin.
“Udin ayo bangun, entar kamu telat masuk sekolahnya,” kalimat Raodah sedikit mengoyang-goyangkan tubuh anaknya. Namun, alangkah nikmatnya dunia mimpi, membuat Udin tak kunjung bangun.
Dengkuran udin masih terdengar begitu jelas dikedua telinga Raodah, membuatnya bertambah kesal. Bantal guling yang ada di sisi kanan tubuh anaknya itu diambilnya lalu di pukulkannya ke arah wajah Udin dengan pelan.
“Udiiiin, bangun”. Bukan mendengar, namun merasakan hantaman guling ke wajahnya membuat Udin seketika tersentak bangun. Terlihat sedikit lucu atas respon anaknya membuat Raodah tersenyum mengusir kekesalan hatinya pada anaknya.
“Ah ibu, menggangu mimpi Udin saja,” Ucapan spontan Udin disaat melihat ibunya tersenyum pahit padanya.
“Mimpi, mimpi. Sekarang kamu cepat mandi tidak lama waktunya kamu masuk sekolah”.
“Sekolah, sekolah lagi. Udin malas masuk sekolah bu. Bosan,” Balas Udin sembari menjatuhkan kepalanya kembali ke bantal. Alangkah kaget hati Raodah, ia tak habis pikir bahwa anaknya akan berkata seperti itu.
Karya Ilham
Ketika mentari mulai terlihat merangkak perlahan di ufuk timur, Raodah nampak bergegas menuju kamar tidur anaknya. Pagi yang disambut kokokan ayam jantan dari segala sudut penjuru kampung membuat janda muda itu semakin tampak gelisah. Mengapa tidak, arah jarum jam hampir menunjuk tepat ke angka enam, namun anak semata wayangnya itu tak kunjung bangun dari tidurnya. Bukan hanya gelisah, namun perlahan raut wajah Raodah terlihat begitu kesal setelah melihat tingkah anaknya yang tak seperti biasanya.
“Udin lekas bangun, sudah siang,” begitu kata Raodah setelah tepat berada di tempat pembaringan anaknya itu. Entah masih berada dalam dunia mimpinya, perkataan itu tak digubris Udin.
“Udin ayo bangun, entar kamu telat masuk sekolahnya,” kalimat Raodah sedikit mengoyang-goyangkan tubuh anaknya. Namun, alangkah nikmatnya dunia mimpi, membuat Udin tak kunjung bangun.
Dengkuran udin masih terdengar begitu jelas dikedua telinga Raodah, membuatnya bertambah kesal. Bantal guling yang ada di sisi kanan tubuh anaknya itu diambilnya lalu di pukulkannya ke arah wajah Udin dengan pelan.
“Udiiiin, bangun”. Bukan mendengar, namun merasakan hantaman guling ke wajahnya membuat Udin seketika tersentak bangun. Terlihat sedikit lucu atas respon anaknya membuat Raodah tersenyum mengusir kekesalan hatinya pada anaknya.
“Ah ibu, menggangu mimpi Udin saja,” Ucapan spontan Udin disaat melihat ibunya tersenyum pahit padanya.
“Mimpi, mimpi. Sekarang kamu cepat mandi tidak lama waktunya kamu masuk sekolah”.
“Sekolah, sekolah lagi. Udin malas masuk sekolah bu. Bosan,” Balas Udin sembari menjatuhkan kepalanya kembali ke bantal. Alangkah kaget hati Raodah, ia tak habis pikir bahwa anaknya akan berkata seperti itu.
Ayo Sekolah |
Hampir tak dapat berkata lagi, setelah menyaksikan tingkah anaknya yang aneh itu. Udin di mata Raodah dikenal sebagai sesosok anak yang pandai dan rajin. Semenjak Udin mengenal dunia pendidikan, nilai prestasi udin sangat bagus di mata Raodah dan termasuk para gurunya.
“Sudah lah bu, Udin mau tidur lagi untuk melanjutkan mimpi Udin bertemu dengan kakek-kakek tua”. Raodah kembali tersentak kaget mendengar perkataan anaknya seperti itu. Meskipun belum mengerti mengapa sikap dan tingkah anaknya berubah drastis, dengan sikap keibuan Raodah, ia kembali berkata pada anaknya,
“Udin, jika kamu tak sekolah, lantas kamu mau jadi apa nantinya”. Mendengar kalimat ibunya itu, Udin hanya terdiam kemudian menutupi kepalanya dengan bantal.
“Lho, kok Udin seperti ini. Apa Udin tidak kasihan sama Ibu,” Raodah mencoba membujuk Udin, anaknya itu. Seketika pun Udin memutuskan tuk kembali duduk dan menatap Raodah, ibunya.
“Ibu, justru Udin kasihan sama Ibu, sehingga udin memutuskan tuk tidak ke sekolah. Aku kasihan sama ibu, yang menyekolahkan aku dengan orientasi kelak aku kerja jadi pegawai,” kalimat Udin membuat Raodah hanya terdiam.
“Coba ibu pikir, jika esok hari nanti aku tidak jadi pegawai, pasti ibu sendiri akan kecewa. Sebab di pikiran ibu, letak keberhasilan seseorang sekolah itu di ukur apabila dia jadi pegawai nantinya”.
“Tapi Udin, bagaimana caranya kita akan merubah nasib jika kamu tidak sekolah. Apalagi dengan bersekolah, kamu akan menjadi cerdas. Dan setelah cerdas, bukan hanya nasib di keluarga kita yang dapat kamu rubah, tetapi nasib orang-orang miskin lain pun kamu dapat merubahnya,” kalimat balas Raodah mencoba memberi pemahaman pada anaknya itu.
Mendengar perkataan ibunya, udin hanya tersenyum dan meraih kedua tangan ibunya itu.
“Ibu, apa ibu tahu bahwa sekolah itu adalah salah satu bentuk pembodohan pemerintah bagi rakyat miskin seperti kita ini”.
“Udin, maksud kamu apa nak,” Raodah seketika kaget pendengar pengakuan anaknya itu. Sedikit penasaran pun menyelimuti pikirannya.
“Bu, coba ibu pikir, sudah beberapa tahun ini Udin sekolah. Namun tak sedikit pun kesukaan Udin yang terelisasikan oleh sekolah udin sendiri. Udin hobi bermain Drama, namun di sekolah tak pernah mengajarkan kita mengenai drama. Yang ada hanya metematika dan bahasa inggris. Di sekolah juga kalau Udin perhatikan, hanya orang-orang kaya yang mendapatkan pelayanan baik dari guru. Banyak teman-teman Udin yang segolongan dengan kita yang miskin ini, hanya dikomersilkan dari guru-guru. Dibilang bodoh lah, dicap nakal lah sehingga membuat kita merasa diasingkan. Jadi kira-kira apa untungnya jika Udin masih tetap sekolah,” jelas Udin selayaknya orang dewasa. Demikian yang terjadi pada Raodah yang tak habis pikir, apa yang membuat anaknya menjadi seperti itu.
Jarum jam yang menempel di dinding kamar Udin semakin berputar, dan telah menunjukkan tepat pukul 07.00. Namun, anak dan orang tua itu tak beranjak dari ruangan sederhana itu. Percakapan masih saja terus berlangsung membuat mereka terhipnotis seakan tak sadarkan diri.
“Ibu, semalam Udin bermimpi bertemu dengan kakek-kakek tua. Udin tak tahu siapa. Tapi kakek tua itu memberikan pemahaman padaku tentang kondisi pendidikan di kampung kita ini. Udin baru mengerti, ternyata dunia pendidikan di kampung kita ini itu sangat rusak bu,” lanjut Udin bernada kesal.
“Siapa bilang pendidikan itu rusak nak. Coba lihat, sudah berapa kali Udin mendapat beasiswa dari sekolah sebagai siswa terpandai di sekolah. Jadi jangan berpendapat seperti itu dong nak,” Raodah kembali memberi pemahaman dengan mengusap-usap kepala anaknya itu.
“Nah, itulah salah satu kekeliruan pendidikan bu, hanya siswa cerdas yang diakui dan dibantu oleh pemerintah. Sedangkan bagi siswa-siswa yang bodoh tidak dianggap dan tidak diberikan bantuan semacam beasiswa itu”.
“Tapi itu adalah salah satu cara pemerintah untuk meningkatkan motifasi bagi anak untuk lebih giat belajar lagi,” balas Raodah mencoba melayani perkataan Udin, anaknya. Namun mendengar pernyataan ibunya, Udin kembali tersenyum.
“jadi di mana letak tugas-tugas pendidikan itu sendiri, yang katanya merubah sikap dan prilaku seseorang menjadi lebih baik. Dalam mimpi udin semalam, kakek-kakek itu sempat berkata padaku, bahwa pendidikan hanya akan melahirkan penindas-penindas baru di kapung kita ini bu. Dan itu fakta, sebab mengapa di kampung kita ini banyak pejabat-pejabat korupsi yang merampok uang-uang rakyat. Itu semua dampak dari biaya pendidikan yang mahal. Hmmm, Pokoknya pendidikan itu sangat rusak lah bu,” Sela Udin mencoba mengakhiri perdebatannya dengan ibunya.
Mendengar segala perkataan Udin, Raodah tak habis pikir, hanya karena mimpi anaknya dapat berkata seperti itu. Raodah heran, tingkah anaknya di pagi itu tak ubahnya tingkah orang-orang dewasa. Hampir tak percaya, sebab Udin masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga.
Menganggap pendapat anaknya tak dapat ditentang lagi, Raodah memutuskan tuk mengikuti arus pikiran anaknya itu agar dia kembali mau melanjutkan sekolahnya lagi.
“Baiklah, ibu sekarang mengerti apa maksud Udin. Memang pendapat kamu semuanya benar. Jadi sekarang ibu mau bertanya pada Udin”.
“Apa itu bu,” sepertinya Udin penasaran mendengar perkataan ibunya.
“Jika sekarang Udin prihatin dengan kondisi pendidikan, jadi apa Udin mau melakukan perubahan terhadap dunia pendidikan di kampung kita ini,” Raodah mencoba menjebak anaknya itu.
“Yah maulah bu. Udin mau merubah sistem-sistem pendidikan. Udin mau menerapkan sistem pendidikan yang tidak berpihak. Udin akan menghapus yang namanya ujian nasional, agar hak-hak guru sebagai orang yang mengetahui tingkat kecerdasan muridnya itu bisa kembali lagi,” kalimat Udin yang terdengar seakan bermain-main dengan imajinasinya sendiri.
“Nah, kira-kira dengan cara seperti apa yang akan membuat Cita-cita Udin seperti itu bisa tercapai,” Raodah kembali bertanya pada Udin.
“Yah, dengan cara bersekolah yang baiklah bu,” kata Udin sedikit memotong pembicaraan ibunya.
“Itu kan,,, Udin sendiri memahami, bahwa bersekolah itu kita dapat mewujudkan cita-cita kita. Tapi mengapa sekarang ini, Udin sendiri tak mau pergi sekolah. Gimana caranya,” Raodah seakan mengejek anaknya, namun sekedar mengembalikan pemahaman Udin seperti sedia kala.
“Oh iya, lho kok Udin bisa lupa sih. Jika Udin tak sekolah, sama halnya aku merelakan diri untuk dibodohkan oleh orang lain,” Udin seakan baru terbangun dari ketidak sadarannya.
“Nah itu baru anak ibu. Berhubung jam baru menunjukkan pukul setengah delapan, lekas mandi. Setelah itu, Udin berangkat sekolah untuk merampok Ilmu pengetahuan,” Gumam Raodah memberi semangat pada anak semata wayangnya itu.
“Baiklah, pokoknya kelak, Udin akan merubah kampung kita ini dengan hasil perjuangan Udin nantinya”. Mendengar pengakuan Udin, Raodah seketika tersenyum simpul lalu memeluk erat anaknya itu.
“Yah sudah, lekas mandi”. Raodah melepas pelukannya, sehingga Udin seketika bersemangat dan segera beranjak meninggalkan tempat tidurnya.
Melihat tingkah anaknya yang lucu, Raodah kembali tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Di sisi lain, Raodah pun merasa lega, akhirnya pengaruh kakek-kakek yang ditemui Udin dalam mimpinya bisa terhapuskan kembali. Ia takut, jika pengaruh kakek-kakek itu terus tertanam di fikiran anaknya, kelak anaknya itu tak akan bercita-cita menjadi pegawai negri lagi. Sebab difikran Raodah, anaknya dianggap berhasil jika dapat mencapai predikat yang namanya PNS. Sebagai ibu yang ingin melihat anaknya berhasil, Raodah kembali bernafas lega setelah beberapa menit ia sempat khawatir dengan sifat kekritisan anaknya yang begitu cepat. Akhirnya, ia memutuskan untuk merapikan tempat tidur Udin yang sangat berantakan. Namun, setelah beberapa detik merapikan tempat tidur anaknya itu, ia kembali dikagetkan dengan kalimat Udin yang kembali menemui ibunya yang masih berada dalam kamar.
“Bu, tapi setelah Udin pikir-pikir, jika Udin tetap sekolah dan akhirnya aku cerdas, apakah aku tidak akan menjadi penindas-penindas baru di kampung kita ini. Udin sepertinya ragu bu akan semua itu”. Mendengar perkataan Udin yang mengagetkan, Raodah hanya terdiam dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Ruangan sederhana itu kembali sepi. Anak dan ibu itu semuanya membisu. Sepintas berlalu, bayangan kakek-kakek yang ada dalam mimpi Udin itu kembali terlihat melintas di depan mata. Lalu, semuanya kembali terdiam.
Sekian
Polewali, 22 april
“Sudah lah bu, Udin mau tidur lagi untuk melanjutkan mimpi Udin bertemu dengan kakek-kakek tua”. Raodah kembali tersentak kaget mendengar perkataan anaknya seperti itu. Meskipun belum mengerti mengapa sikap dan tingkah anaknya berubah drastis, dengan sikap keibuan Raodah, ia kembali berkata pada anaknya,
“Udin, jika kamu tak sekolah, lantas kamu mau jadi apa nantinya”. Mendengar kalimat ibunya itu, Udin hanya terdiam kemudian menutupi kepalanya dengan bantal.
“Lho, kok Udin seperti ini. Apa Udin tidak kasihan sama Ibu,” Raodah mencoba membujuk Udin, anaknya itu. Seketika pun Udin memutuskan tuk kembali duduk dan menatap Raodah, ibunya.
“Ibu, justru Udin kasihan sama Ibu, sehingga udin memutuskan tuk tidak ke sekolah. Aku kasihan sama ibu, yang menyekolahkan aku dengan orientasi kelak aku kerja jadi pegawai,” kalimat Udin membuat Raodah hanya terdiam.
“Coba ibu pikir, jika esok hari nanti aku tidak jadi pegawai, pasti ibu sendiri akan kecewa. Sebab di pikiran ibu, letak keberhasilan seseorang sekolah itu di ukur apabila dia jadi pegawai nantinya”.
“Tapi Udin, bagaimana caranya kita akan merubah nasib jika kamu tidak sekolah. Apalagi dengan bersekolah, kamu akan menjadi cerdas. Dan setelah cerdas, bukan hanya nasib di keluarga kita yang dapat kamu rubah, tetapi nasib orang-orang miskin lain pun kamu dapat merubahnya,” kalimat balas Raodah mencoba memberi pemahaman pada anaknya itu.
Mendengar perkataan ibunya, udin hanya tersenyum dan meraih kedua tangan ibunya itu.
“Ibu, apa ibu tahu bahwa sekolah itu adalah salah satu bentuk pembodohan pemerintah bagi rakyat miskin seperti kita ini”.
“Udin, maksud kamu apa nak,” Raodah seketika kaget pendengar pengakuan anaknya itu. Sedikit penasaran pun menyelimuti pikirannya.
“Bu, coba ibu pikir, sudah beberapa tahun ini Udin sekolah. Namun tak sedikit pun kesukaan Udin yang terelisasikan oleh sekolah udin sendiri. Udin hobi bermain Drama, namun di sekolah tak pernah mengajarkan kita mengenai drama. Yang ada hanya metematika dan bahasa inggris. Di sekolah juga kalau Udin perhatikan, hanya orang-orang kaya yang mendapatkan pelayanan baik dari guru. Banyak teman-teman Udin yang segolongan dengan kita yang miskin ini, hanya dikomersilkan dari guru-guru. Dibilang bodoh lah, dicap nakal lah sehingga membuat kita merasa diasingkan. Jadi kira-kira apa untungnya jika Udin masih tetap sekolah,” jelas Udin selayaknya orang dewasa. Demikian yang terjadi pada Raodah yang tak habis pikir, apa yang membuat anaknya menjadi seperti itu.
Jarum jam yang menempel di dinding kamar Udin semakin berputar, dan telah menunjukkan tepat pukul 07.00. Namun, anak dan orang tua itu tak beranjak dari ruangan sederhana itu. Percakapan masih saja terus berlangsung membuat mereka terhipnotis seakan tak sadarkan diri.
“Ibu, semalam Udin bermimpi bertemu dengan kakek-kakek tua. Udin tak tahu siapa. Tapi kakek tua itu memberikan pemahaman padaku tentang kondisi pendidikan di kampung kita ini. Udin baru mengerti, ternyata dunia pendidikan di kampung kita ini itu sangat rusak bu,” lanjut Udin bernada kesal.
“Siapa bilang pendidikan itu rusak nak. Coba lihat, sudah berapa kali Udin mendapat beasiswa dari sekolah sebagai siswa terpandai di sekolah. Jadi jangan berpendapat seperti itu dong nak,” Raodah kembali memberi pemahaman dengan mengusap-usap kepala anaknya itu.
“Nah, itulah salah satu kekeliruan pendidikan bu, hanya siswa cerdas yang diakui dan dibantu oleh pemerintah. Sedangkan bagi siswa-siswa yang bodoh tidak dianggap dan tidak diberikan bantuan semacam beasiswa itu”.
“Tapi itu adalah salah satu cara pemerintah untuk meningkatkan motifasi bagi anak untuk lebih giat belajar lagi,” balas Raodah mencoba melayani perkataan Udin, anaknya. Namun mendengar pernyataan ibunya, Udin kembali tersenyum.
“jadi di mana letak tugas-tugas pendidikan itu sendiri, yang katanya merubah sikap dan prilaku seseorang menjadi lebih baik. Dalam mimpi udin semalam, kakek-kakek itu sempat berkata padaku, bahwa pendidikan hanya akan melahirkan penindas-penindas baru di kapung kita ini bu. Dan itu fakta, sebab mengapa di kampung kita ini banyak pejabat-pejabat korupsi yang merampok uang-uang rakyat. Itu semua dampak dari biaya pendidikan yang mahal. Hmmm, Pokoknya pendidikan itu sangat rusak lah bu,” Sela Udin mencoba mengakhiri perdebatannya dengan ibunya.
Mendengar segala perkataan Udin, Raodah tak habis pikir, hanya karena mimpi anaknya dapat berkata seperti itu. Raodah heran, tingkah anaknya di pagi itu tak ubahnya tingkah orang-orang dewasa. Hampir tak percaya, sebab Udin masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga.
Menganggap pendapat anaknya tak dapat ditentang lagi, Raodah memutuskan tuk mengikuti arus pikiran anaknya itu agar dia kembali mau melanjutkan sekolahnya lagi.
“Baiklah, ibu sekarang mengerti apa maksud Udin. Memang pendapat kamu semuanya benar. Jadi sekarang ibu mau bertanya pada Udin”.
“Apa itu bu,” sepertinya Udin penasaran mendengar perkataan ibunya.
“Jika sekarang Udin prihatin dengan kondisi pendidikan, jadi apa Udin mau melakukan perubahan terhadap dunia pendidikan di kampung kita ini,” Raodah mencoba menjebak anaknya itu.
“Yah maulah bu. Udin mau merubah sistem-sistem pendidikan. Udin mau menerapkan sistem pendidikan yang tidak berpihak. Udin akan menghapus yang namanya ujian nasional, agar hak-hak guru sebagai orang yang mengetahui tingkat kecerdasan muridnya itu bisa kembali lagi,” kalimat Udin yang terdengar seakan bermain-main dengan imajinasinya sendiri.
“Nah, kira-kira dengan cara seperti apa yang akan membuat Cita-cita Udin seperti itu bisa tercapai,” Raodah kembali bertanya pada Udin.
“Yah, dengan cara bersekolah yang baiklah bu,” kata Udin sedikit memotong pembicaraan ibunya.
“Itu kan,,, Udin sendiri memahami, bahwa bersekolah itu kita dapat mewujudkan cita-cita kita. Tapi mengapa sekarang ini, Udin sendiri tak mau pergi sekolah. Gimana caranya,” Raodah seakan mengejek anaknya, namun sekedar mengembalikan pemahaman Udin seperti sedia kala.
“Oh iya, lho kok Udin bisa lupa sih. Jika Udin tak sekolah, sama halnya aku merelakan diri untuk dibodohkan oleh orang lain,” Udin seakan baru terbangun dari ketidak sadarannya.
“Nah itu baru anak ibu. Berhubung jam baru menunjukkan pukul setengah delapan, lekas mandi. Setelah itu, Udin berangkat sekolah untuk merampok Ilmu pengetahuan,” Gumam Raodah memberi semangat pada anak semata wayangnya itu.
“Baiklah, pokoknya kelak, Udin akan merubah kampung kita ini dengan hasil perjuangan Udin nantinya”. Mendengar pengakuan Udin, Raodah seketika tersenyum simpul lalu memeluk erat anaknya itu.
“Yah sudah, lekas mandi”. Raodah melepas pelukannya, sehingga Udin seketika bersemangat dan segera beranjak meninggalkan tempat tidurnya.
Melihat tingkah anaknya yang lucu, Raodah kembali tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Di sisi lain, Raodah pun merasa lega, akhirnya pengaruh kakek-kakek yang ditemui Udin dalam mimpinya bisa terhapuskan kembali. Ia takut, jika pengaruh kakek-kakek itu terus tertanam di fikiran anaknya, kelak anaknya itu tak akan bercita-cita menjadi pegawai negri lagi. Sebab difikran Raodah, anaknya dianggap berhasil jika dapat mencapai predikat yang namanya PNS. Sebagai ibu yang ingin melihat anaknya berhasil, Raodah kembali bernafas lega setelah beberapa menit ia sempat khawatir dengan sifat kekritisan anaknya yang begitu cepat. Akhirnya, ia memutuskan untuk merapikan tempat tidur Udin yang sangat berantakan. Namun, setelah beberapa detik merapikan tempat tidur anaknya itu, ia kembali dikagetkan dengan kalimat Udin yang kembali menemui ibunya yang masih berada dalam kamar.
“Bu, tapi setelah Udin pikir-pikir, jika Udin tetap sekolah dan akhirnya aku cerdas, apakah aku tidak akan menjadi penindas-penindas baru di kampung kita ini. Udin sepertinya ragu bu akan semua itu”. Mendengar perkataan Udin yang mengagetkan, Raodah hanya terdiam dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Ruangan sederhana itu kembali sepi. Anak dan ibu itu semuanya membisu. Sepintas berlalu, bayangan kakek-kakek yang ada dalam mimpi Udin itu kembali terlihat melintas di depan mata. Lalu, semuanya kembali terdiam.
Sekian
Polewali, 22 april
PROFIL PENULIS
Ilham, Ketua umum Gerakan Mahasiswa Bahasa Indonesia dan Warga Padepokan Sastra Mpu Tantular.
Baca juga Cerpen Pendidikan yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment